Minggu, 23 Februari 2014

PENYAKIT GRAVES dan SINDROM CUSHING


       I.            PENYAKIT GRAVES
A.    Definisi
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.
B.     Tanda dan Gejala
Penyakit Graves umumnya ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid/ struma difus, disertai tanda dan gejala tirotoksikosis dan seringkali juga disertai oftalmopati (terutama eksoftalmus) dan kadang-kadang dengan dermopati.
Manifestasi kardiovaskular pada tirotoksikosis merupakan gejala paling menonjol dan merupakan karakteristik gejala dan tanda tirotoksikosis.
Gejala tirotoksikosis yang sering ditemukan:
·         Hiperaktivitas, iritabilitas
·         Palpitasi
·         Tidak tahan panas dan keringat berlebih
·         Mudah lelah
·         Berat badan turun meskipun makan banyak
·         Buang air besar lebih sering
·         Oligomenore atau amenore dengan libido berkurang
Tanda tirotoksikosis yang sering ditemukan:
·         Takikardi, fibrilasi atrial
·         Tremor halus, refleks meningkat
·         Kulit hangat dan basah
·         Rambut rontok
Pada pasien dengan usia yang lebih tua, sering tanda dan gejala khas tersebut tidak muncul akibat respons tubuh terhadap peningkatan hormon tiroid menurun. Gejala yang dominan pada usia tua adalah penurunan berat badan, fibrilasi atrial, dan gagal jantung kongestif.
Oftalmopati pada penyakit Graves ditandai dengan adanya edema dan inflamasi otot-otot ekstraokular dan meningkatnya jaringan ikat dan lemak orbita. Peningkatan volume jaringan retrobulber memberikan kontribusi besar terhadap manifestasi klinis oftalmopati Graves.
Mekanisme kelainan mata pada penyakit Graves sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tetapi mengingat hubungan yang erat antara penyakit Graves dengan oftalmopati, diduga keduanya berasal dari respons autoimun terhadap satu atau lebih antigen di kelenjar tiroid atau orbita. Sebagian peneliti melaporkan bahwa reseptor TSH-lah yang menjadi antigen dari respons autoimun keduanya. Tetapi sebagian yang lain melaporkan adanya antigen lain di orbita yang berperan dalam mekanisme terjadinya oftalmopati, sehingga dikatakan bahwa penyakit Graves dan oftalmopati Graves merupakan penyakit autoimun yang masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu kelainan mata pada penyakit Graves dapat timbul mendahului, atau bersamaan, atau bahkan kemudian setelah penyakit Graves-nya membaik.
C.    Diagnosis
Penyakit Graves mulai dipikirkan apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid difus disertai tanda dan gejala ke arah tirotoksikosis. Untuk memastikan diagnosis, diperlukan pemeriksaan TSH dan T4-bebas dalam darah. Pemeriksaan TSH sangat berguna untuk skrining hipertiroidisme, karena dengan peningkatan sekresi hormon tiroid yang sedikit saja, sudah akan menekan sekresi TSH. Pada stadium awal penyakit Graves, kadang-kadang TSH sudah tertekan tetapi kadar T-4 bebas masih normal. Pada keadaan demikian, pemeriksaan T-3bebas diperlukan untuk memastikan diagnosis T-3 toksikosis.
Apabila dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium belum juga dapat menegakkan diagnosis penyakit Graves, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan tes supresi tiroksin.
D.    Pemeriksaan laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :
Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas.
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).
E.     Pemeriksaan Penunjang lain
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin.

    II.            SINDROM CUSHING
Definisi
Cushing syndrome adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh hiperadrenokortisisme akibat neoplasma korteks adrenal atau adenohipofisis, atau asupan glukokortikoid yang berlebihan. Bila terdapat sekresi sekunder hormon adrenokortikoid yang berlebihan akibat adenoma hipofisis dikenal sebagai Cushing Disease.
A.    Tanda dan Gejala
Kortikosteroid berubah-ubah banyaknya dan didistribusikan ke lemak tubuh. lemak tubuh terbentuk melaui torso dan kemungkinan nyata sekali diatas punggung. Seseorang dengan sindrom cushing biasanya memiliki muka yang besar, (muka bulan). Tangan dan kaki biasanya ramping pada bagian batang yang menebal. Otot kehilangan kekuatannya, dan menjadi lemah. Kulit menjadi tipis, mudah memar, kurang sembuh dengan baik ketika memar atau luka. Lapisan warna ungu yang terlihat seperti tanda kerutan bisa terbentuk diatas perut. orang dengan sindrom cushing cenderung mudah lelah.
Kadar kortikosteroid tinggi setiap waktu meningkatkan tekanan darah, melemahkan tulang (osteoporosis), dan mengurangi perlawana terhadap infeksi. Resiko terbentuknya batu ginjal dan diabetes meningkat, dan gangguan mental, termasuk depresi dan halusinasi, bisa terjadi. Wanita biasanya memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur. Anak dengan sindrom cushing lambat bertumbuh dan tetap pandek. Pada beberapa orang, kelenjar adrenal juga menghasilkan androgen dalam jumlah besar (testosteron dan hormon sejenisnya), menyebabkan peningkatan muka dan rambut tubuh pada wanita dan kebotakan.
Gejala sindrom Cushing antara lain:
·      Berat badan naik, terutama di sekitar perut dan punggung bagian atas;
·         Kelelahan yang berlebihan;
·         Otot terasa lemah;
·         Muka membundar (moon face);
·         Edema (pembengkakan) kaki;
·    Tanda merah/pink pada kulit bagian paha, pantat, dan perut;
·         Depresi;
·         Periode menstruasi pada wanita yang tidak teratur;
B.     Diagnosa dan Pemeriksaan Laboratorium
Pengukuran kadar kortisol, hormon utama kortikosteroid, pada darah. Secara normal, kadar kortisol tinggi pada pagi hari dan rendah pada malam hari. Pada orang yang memiliki sindrom cushing, kadar kortisol sangat tinggi setiap hari.
Jika kadar kortisol tinggi, dokter bisa menganjurkan tes suppression deksametason. Deksametason menekan kelenjar pituitary dan harus menyebabkan tekanan pada pengeluaran kortisol dengan kelenjar adrenalin. Jika sindrom cushing disebabkan oleh terlalu banyak rangsangan pituitary, kadar kortisol akan jatuh kebeberapa perluasan, meskipun tidak sebanyak pada orang yang tidak memiliki sindrom cushing. Jika sindrom cushing mempunyai penyebab lain, kadar kortisol akan tetap tinggi. Kadar kortikotropin yang tinggi lebih lanjut menyebabkan rangsangan berlebihan pada kelenjar adrenalin.
Tes imaging kemungkinan dibutuhkan untuk memastikan penyebab pasti, termasuk sebuah computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) scan pada pituitary atau kelenjar adrenalin dan sebuah sinar-X dada atau CT scan pada paru-paru. Meskipun begitu, tes-tes ini bisa kadangkala gagal untuk menemukan tumor.
Ketika produksi berlebihan pada kortikotropin dinyatakan sebagai penyebab, contoh darah kemungkinan diambil dari pembuluh yang mengeringkan pituitary untuk melihat jika hal tersebut adalah sumber.

C.    Langkah-langkah dalam diagnosa dan pemeriksaan
1.      Langkah Pertama : menguji diagnosis
Macam pemeriksaan laboratorium :
a.       Pemeriksaan kadar kortisol plasma
·         Normal                  : Pagi hari 5-25 μg/dL dan malam hari menurun menjadi 50 %
·         Sindrom Cushing: pada malam hari kadarnya tidak menurun atau tetap
·         Tidak dapat digunakan pada anak usia < 3 tahun
b.      Pemeriksaan kadar kortisol bebas atau17- hidroksikortikosteroid dalam urin 24jam
·         Sindrom Cushing: kadar kortisol bebas atau 17-hidroksikortikosteroid dalam urin 24 jam meningkat
c.       Tes supresi adrenal ( tes supresi deksametason dosis tunggal)
·         23.00: Deksametason 0,3 mg/m2 diberikan per oral
·         08.00: Periksa kadar kortisol plasma
·         Normal      : kortisol plasma < 5μg/dl
·         Cushing     : kortisol plasma > 5 μg/Dl
2.      Langkah kedua : kemungkinan penyebab
a.       Pemeriksaan supresi deksametason tinggi
·         Deksametason 20 mg/kg setiap 6 jam selama 2 hari berturut-turut
·         Sindrom Cushing: Kadar kortisol plasma < 7 μg/dL
·         Kortisol bebas 17-hidroksikortikosteroid dalam urin 24 jam
b.      Pemeriksaan kadar ACTH plasma
·         Alat immunoradiometric assay (IRMA)
·         Tergantung ACTH: kadar ACTH plasma > 10 pg/mL
·         Tidak tergantung ACTH: kadar ACTH plasma < 5 pg/mL
3.      Langkah ketiga
a.       Lokasi penyebab primer
b.      MRI
c.       Evaluasi periodik
d.      CT scan toraks dan abdomen
e.       CT scan adrenal

D.    Pendekatan Diagnosis
·   Uji kadar kortisol plasma > 5 µg/dl pada sampel jam 8 pagi setelah pemberian deksametason pada tengah malam.
·   Uji urine 24 jam dengan kadar kortisol bebas > 100 µg/hari
·   Supresi deksametason dosis rendah selama 2 hari, kegagalan menekan kortisol plasma hingga < dl =" sindrom"

E.     Pengobatan
Pengobatan bergantung pada apakah masalah pada kelenjar adrenal, kelenjar pituitary, atau daerah lain. Operasi atau terapi radiasi kemungkinan dibutuhkan untuk mengangkat atau menghancurkan tumor pituitary. Tumor pada kelenjar adrenalin (biasanya adenomas) bisa seringkali bisa diangkat dengan cara operasi. Kedua kelenjar adrenalin bisa diangkat jika pengobatan ini tidak efektif atau jika tidak terdapat tumor. Orang yang kedua kelenjar adrenalinnya diangkat, dan banyak orang yang memiliki bagian pada kelenjar adrenalinnya diangkat, harus menggunakan kortikosteroid untuk hidup. Tumor diluar pituitary dan kelenjar adrenalin yang mengeluarkan hormon berlebihan biasanya diangkat dengan cara operasi. Obat-obatan tertentu, seperti metyrapone atau ketoconazole, bisa menurunkan kadar kortisol dan bisa digunakan ketika menunggu pengobatan yang lebih pasti seperti operasi.

DAFTAR PUSTAKA
-        Sudoyo A.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
-        Sylvia AP, Lourraine MW.2003.Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi ke 6. Vol II. Jakarta : EGC
-        Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
-        Subekti, I. 2001.Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan Praktis Penyakit Graves. Jakarta : FKUI
-        Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
-        Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995 : hal 1049 – 1058, 1070 – 1080
-        Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001 : hal 263 – 265
-        Weetman AP. Graves’ disease. N Engl J Med .2000;343(17):1236-48.
-        Woeber KA. Update on the management of hyperthyroidism and hypothyroidism. Arch Intern Med. 2000;160:1067-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laboratorium Parasitologi Representatif

BAB I PENDAHULUAN Parasitologi adalah adalah suatu ilmu cabang biologi yang mempelajari tentang semua organisme parasit. Dalam ...