Senin, 17 Juni 2013

Bakteriosin



BAB I
PENDAHULUAN

Bakteri adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan tersebar luas dibandingkan dengan organisme lainnya. Organisme ini termasuk ke dalam domain prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik) serta memiliki peran besar dalam kehidupan di bumi.
Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai agen penyebab infeksi dan penyakit, sedangkan kelompok lainnya dapat memberikan manfaat di bidang pangan, pengobatan, dan industri. Ini dikenal sebagai patogenitas bakteri. Beberapa bakteri  patogen menghasilkan toksin, yang berupa endotoksin dan eksotoksin. Dengan makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenai toksin pada bakteri.


BAB II
ISI

A.    Definisi
Toksigenitas atau produksi toksin ialah salah satu penyebab terbesar dari bakteri yang menyebabkan penyakit. Toksin sendiri memiliki pengertian zat racun yang dibentuk dan dikeluarkan oleh organisme yang dapat menyebabkan kerusakan radikal dalam struktur, merusak total hidup atau keefektifan organisme lain pada satu bagian. Toksin yang berasal dari bakteri adalah komponen racun terlarut yang diproduksi oleh bakteri, dan menyebabkan pengaruh negatif terhadap sel-sel inang dengan cara mengubah metabolisme normal dari sel inang tersebut.
B.     Jenis toksin
Toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini bisa dibedakan atas dua jenis yaitu endotoksin dan enterotoksin.
1.      Eksotoksin
     Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa species bakteri tertentu (bisa Gram positif maupun Gram negatif) yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Sebagai contoh, toksin botulin hanya dihasilkan oleh Clostridium botulinum.
     Pada beberapa pathogen, toksin merupakan faktor virulence: toksin hanya diproduksi oleh strain yang virulent. Beberapa patogen bisa mensekresikan eksotoksin ke dalam pangan. Pada kondisi ini, walaupun bakterinya tidak ada, toksin akan menyebabkan keracunan pangan jika masuk ke saluran pencernaan (intoksikasi). Pada beberapa patogen, bakteri hidup masuk ke saluran pencernaan dan memproduksi toksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan (toksiko-infeksi).
     Eksotoksin berukuran lebih besar dari endotoksin, dengan berat molekul sekitar 50 – 1000 kDa. Toksin ini berfungsi seperti enzim dan memiliki sifat-sifat enzim yaitu terdenaturasi oleh panas, asam dan enzim proteolitik. Potensi toksiknya tinggi dan dapat menyebabkan keracunan. Aktivitas biologis dari eksotoksin berlangsung dengan mekanisme reaksi dan substrat yang spesifik. Substrat (didalam inang) bisa berupa komponen dari sel-sel jaringan, organ atau cairan tubuh. Biasanya, bagian yang dirusak oleh toksin mengindikasikan lokasi dari substrat untuk toksin tersebut. Bakteri-bakteri yang dapat menghasilkan eksotoksin, antara lain:
·   Corynebacterium diphteriae
·   Shigella shigae
·   Clostridium tetani
·   Clostridium botulinum
·   Clostridium welebii
·   dan lain-lain,
Pada bakteri-bakteri tersebut, eksotoksin yang dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh, keadaan ini dinamakan taksoemia dan eksotoksin tadi seterusnya mengenai alat-alat tertentu kemudian menunjukkan gejala-gejala penyakit.
Pada penyakit botilismus dan disentri basiler masuknya eksotoksin dari usus. Menurut Erlich, eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a.       Toksin mudah larut dalam air
b.      Toksin termasuk golongan protein, meskipun tidak memberi semua reaksi dari putih telur dengan larutan sulfas magnecicus yang pekat membuat endap.
c.       Toksin bila disuntikkan pada organisme yang peka, maka akan menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu, dengan menunjukkan gejala-gejala tertentu serta mengenai alat-alat tertentu.
d.      Kekuatan toksin untuk menimbulkan sakit dapat hilang jika dipanasi pada 560C, jadi bersifat termolabil. Toksin dapat hilang juga bila disimpan lama di kamar biasa atau dicampur dengan bahan-bahan kimia.
e.       Bila toksin disuntikkan pada organism, maka dalam tubuh organism tersebut akan membuat bahan-bahan penentang.
2.      Endotoksin
Banyak bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun bakterinya sangat virulen. Dalam hal ini dianggap, bahwa bakteri-bakteri itu menimbulkan sakit, karena bahan-bahan yang keluar sesudah bakteri itu mati dan hancur. Yang menghancurkan mereka ialah zat-zat pertahanan tubuh. Bahan-bahan yang beracun itu dinamakan endotoksin.
Contoh:
§  Endotoksin dari Salmonella typid dapat diekstrak dengan asam tri chlorasetat atau dengan dietilen glikol dan ternyata berbentuk polisakarida-lipoid.
§  Endotoksin dari Vibrio cholera yang diekstrak dengan asam trichlorat asetat berbentuk gabungan dari polisakarida-lipoid.
Sifat-sifat umum dari endotoksin:
a.       Tahan panas atau termolabil, juga terhadap suhu yang tinggi, yang lazim dipergunakan dalam otoklaf.
b.      Membikin sakit dengan gejala-gejala yang sama, sehingga tidak spesifik.
c.       Tidak ada periode inkubasi pada keracunan dengan endotoksin.
Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri Gram negatif, baik coccus maupun basil dan tidak mengaktifkan pelepasan dari sel. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar (outer membran) bakteri Gram negatif seperti E. coli, Salmonella, Shigella dan Pseudomonas.
LPS terletak pada membran terluar. Karena membran luar hanya dimiliki oleh bakteri Gram negatif, maka endotoksin dapat dikatakan sebagai toksin yang khas dimiliki oleh bakteri Gram negatif, bakteri Gram positif tidak mempunyai endotoksin.
Efek toksik dari LPS disebabkan oleh komponen lipid (lipid A) dari LPS sementara polisakarida O yang hidrofilik berperan sebagai carrier pembawa lipid A. Komponen lipid A ini bukanlah struktur makromolekuler tunggal melainkan terdiri dari susunan kompleks dari residu-residu lipid.
Endotoksin adalah LPS, sementara eksotoksin adalah polipetida. Enzim-enzim yang menghasilkan LPS tersebut dikodekan oleh gen-gen pada kromosom bakteri daripada plasmid atau DNA bakteriofage yang biasanya mengkodekan eksotoksin. Toksisitas endotoksin lebih rendah dibandingkan dengan eksotoksin, namun beberapa organisme memiliki endotoksin yang lebih efektif dibanding yang lain.
Endotoksin adalah antigen yang lemah dan menginduksi antibodi dengan lemah sehingga tidak cocok digunakan sebagai antigen dalam vaksin. Keberadaan endotoksin tanpa bakteri penghasilnya sudah cukup untuk menimbulkan gejala keracunan pada inang contohnya keracunan makanan karena endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella.
Gejala penyakit karena aktivitas endotoksin (LPS) terjadi jika bakteri mati (misalnya karena aktivitas antimikroba, aktivitas phagosit atau obat antibiotika) dan mengalami lisis sehingga LPS akan dilepas ke lingkungan atau beberapa juga dilepaskan saat penggandaan bakteri. Endotoksin akan memberi efek negatif jika terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Karena bersifat non enzimatis, maka mekanisme reaksinya tidak spesifik. LPS menyerang sistim pertahanan tubuh sehingga menyebabkan timbulnya efek biologis dari endotoksin yaitu:
a.       Demam karena pelepasan makrofag oleh interleukin-1 yang beraksi karena pusat pengaturan temperatur hipotalamus. Selain itu, demam juga dapat disebabkan oleh karena endotoksin dapat memicu pelepasan protein pirogen endogen (protein di dalam sel) yang memengaruhi pusat pengatur suhu tubuh di dalam otak.
b.      Hipotensi karena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah.
c.       Aktivasi jalur alternatif dari jalur komplemen sehingga terjadi peradangan dan kerusakan jaringan.
d.      Aktivasi makrofag, peningkatan kemampuan fagosit, dan aktivasi dari banyak klon limfosit B sehingga meningkatkan produksi antibodi.
e.       Peradangan, penurunan kadar besi dan pembekuan darah
Efek langsung maupun tak langsung lain dari endotoksin termasuk stimulasi pembentukan sel granulosit, penggumpalan dan degenerasi dari sel trombosit.
C.    Percobaan menetapkan titer toksin
Kekuatan toksin untuk membikin sakit dan mematikan organisme sangat besar. Lebih besar dari racun alkaloid, ialah dapat 650 kali lebih kuat dari atropine atau 200 kali dari strichiin. Cara mengukur kekuatan toksin dapat dilakukan dengan mencari Dosis Letaralis Minimal (DLM).
Jika misalnya kita membuat toksin dari Corynebacterium diphteriae dengan menumbuhkannya dalam media cair dan kemudian menyaring pertumbuhan tersebut dengan saringan Chamberland, maka DLMnya dari air saringan harus ditetapkan.
Untuk itu dapat dibuat larutan yang disuntikkan secara subkutan pada marmut yang beratnya 250 gram dan ditunggu hasilnya selama 4 hari.


Percobaan menetapkan titer toksin

1 cc larutan berisi
Disuntikkan pada marmot
Sesudah 4 hari
1/100 cc toksin
1/200 cc toksin
1/300 cc toksin
1/400 cctoksin
1/500 cc toksin
1 cc larutan air saja sebagai kontrol
No. 1
No. 2
No. 3
No.4
No. 5
No.6
Mati
Mati
Mati
Mati
Hidup
Hidup

Bila hasilnya pada percobaan di atas, maka DLM nya ialah 1/400 cc toksin, yaitu jumlah toksin yang serendah-rendahnya yang dapat mematikan  marmut seberat 50 gram dalam waktu empat hari. Karena adanya peredan kekuatan antara marmut yang satu dengan marmut yang lain meskipun beratnya sama, maka bila ingin lebih tepat lagi, seharusnya kita membuat percobaan dengan 1/400 cc toksin itu disuntikkan pada marmut-marmut berjumlah cukup banyak dan yang masing-masing beratnya 250 gram. Jika 50% dari beberapa marmut ini mati dalam waktu empat hari, maka dosis itu dinamakan DLM 50.
Seterusnya bila toksin tersebut disimpan lama di kamar biasa atau dipanasi ½ jam pada suhu 560C, maka kekuatan toksin untuk mematikan marmut sudah turun atau hilang sama sekali, bahkan ini dinamakan toxid yaitu toksin yang telah kehilangan kekuatan/rusak akibat petubahan suhu/ suhu meningkat (560C).
Untuk menghilangkan kekuatan toksin, Roman mencampur toksin dengan formalin dan campuran ini dinamakan anatoksin, yaitu toksin yang telah kehilangan kekuatan akibat ditambah zat kimia tertentu. Maka kita dapat membuat anatoksin dari difteri, tetanus, dam lain-lain.
Bila toksoid atau anatoksin disuntikkan beberapa kali pada marmut dengan dosis yang meningkat, maka marmut itu menjadi kebal terhadap suntikan toksin yang kekuatannya belum hilang. Jadi dengan percobaan ini molekul toksin itu mempunyai dua bagian:
a.       Bagian yang satu mempunyai sifat untuk membikin sakit atau mati binatang percobaan, oleh Erlich dinamakan toxophore, yang sifatnya htermolabil dan menjadi hilang bila disimpan lama.
b.      Bagian yang kedua mempunyai khasiat untuk membuat kebal binatang percobaan, bagian ini dinamakan baptophore yang sifatnya termostabil, yaitu tidak hilang dipanasi sampai suhu 560C selama ½ jam.
Tidak lama sesudah Roux membuktikan, bahwa Coryne diphteriae dapat membuat toksin, Von Behring menjalankan penyelidikan seperti berikut:
Marmut yang sudah kebal karena disuntik sedikit demi sedikit toksin, kemudian diambil serumnya. Serum ini dicampur dengan toksin yang kekuatannya lebih dari DLM, kemudian campuran serum dan toksin ini disuntikkan pada marmut biasa. Marmut ini ternyata tidak menjadi sakit. Selanjutnya von Geghring memperlihatkan adanya zat-zat dalam serum dari menawarkan aksi dari kebal toksin. Zat-zat ini dinamakan anti toksin.
Dengan sendirinya timbulah pikiran untuk memakai anti toksin sebagai pengobatan, misalnya orang sakit diphteriae diobati dengan serum anti diphteriae ini dengan jalan disuntikkan.

D.    Bakteriosin
Bakteriosin adalah peptida antimikroba yang disintesis secara ribosomal yang dihasilkan sejumlah bakteri (Martirani dkk.2002) dan mempunyai pengaruh bakterisidal dan bakteriostatik terhadap bakteri yang mempunyai hubungan yang dekat dengan bakteri penghasilnya (Ko dan Ahn 2000).
Bakteriosin dihasilkan baik oleh bakteri grampositif maupun bakteri gramnegatif. Bakteriosin grampositif mengandung 30 sampai 60 asam amino dengan aktifitas yang bervariasi dari spektrum sempit sampai luas dalam melawan bakteri gram-positif lain (Jack dkk. 1995) bahkan ada yang beraksi terhadap bakteri gramnegatif. Penamaan bakteriosin umumnya disesuaikan dengan bakteri penghasilnya seperti Lactococcin A, Lactococcin G, lactococcin 972 dihasilkan oleh bakteri Lactococcus lactis, Enterococcin (Enterococcus faecalis), Carnobactericin (Carnobacterium piscicola), Aurecin (Staphylococcus aureus), Bacillocin (Bacillus licheniformis), Acidolin, Acidophilin, Lactacin (Lactobacillus acidophilus), Lactocin, Helveticin (L. helveticus), Plantaricin, Planticin (L. plantarum) dan lain sebagainya. Bakteriosin pertama kali terdeteksi pada tahun 1925 oleh Andre Gratia yang mengamati pertumbuhan beberapa strain E. coli yang pertumbuhannya dihambat oleh senyawa antimikroba yaitu colicin (Oscárriz dan Pisabarro 2001). Bakteriosin selain berperan dalam menjaga kesehatan ternak dan manusia melalui penyeimbangan ekosistem pencernaan, bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat juga berperan sebagai pengawet alami dalam penyimpanan dan pengolahan bahan pangan (Soomro dkk. 2002)
Penggunaan istilah bakteriosin sering dikacaukan dengan istilah antibiotik dan antimikroba. Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme. Bakteriosin adalah zat kimia berupa peptida atau protein yang dihasilkan oleh bakteri sedangkan antimikroba disamping zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme (antibiotik, bakteriosin) juga substansi yang diperoleh secara sintetik. Bakteriosin secara umum berbeda dengan antibiotik dalam hal sintesis, mekanisme kerja, spektrum dan tujuan pemakaian. Bakteriosin meskipun mempunyai heterogenitas komposisi kimia dan aktifitas biologis biasanya mempunyai beberapa karakteristik umum, seperti menghambat pertumbuhan atau membunuh strain bakteri yang hampir sama; tidak efektif melawan bakteri penghasilnya; mempunyai spektrum sempit dan mempunyai ‘protein moiety’ yang dibutuhkan untuk aktifitas biologi (Schlegel dan Slade 1972). Mekanisme kerja bakteriosin dalam melawan bakteri lain secara umum dengan menyerang membran sitoplasma (Montville dan Chen 1998) melalui pembentukan pori membran sitoplasma (Sablon, Contreras dan Vandamme 2000) dan penembusan membran sel sehingga meningkatkan permeabilitas membran sitoplasma (Jack dkk. 1995) atau penghambatan pembentukan septum (Martinez dkk. 2000).





DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laboratorium Parasitologi Representatif

BAB I PENDAHULUAN Parasitologi adalah adalah suatu ilmu cabang biologi yang mempelajari tentang semua organisme parasit. Dalam ...