BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit yang di sebabkan oleh cacing sering kali dianggap masalah
biasa, Sebenarnya hal ini sangat
beralasan karena pada umumnya penyakit ini bersifat kronis sehingga secara
klinis tidak tampak begitu nyata. Karakteristik fisik wilayah tropik seperti
Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang
ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya (Edmundson 1992).
Penyakit kecacingan masih sering dijumpai di seluruh
wilayah Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing ini tergolong
penyakit yang kurang mendapat perhatian, sebab masih sering dianggap sebagai
penyakit yang tidak menimbulkan wabah maupun kematian. Walaupun demikian,
penyakit kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya mengalami kerugian,
sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubuh penderita akan
menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan, sedang sampai berat yang
ditunjukkan sebagai manifestasi klinis diantaranya berkurangnya nafsu makan,
rasa tidak enak di perut, gatal – gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi berupa
kalori dan protein, pneumonitis, syndrome Loeffler dan dapat menimbulkan kehilangan darah
yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh serta menimbulkan gangguan tumbuh
kembang anak.
Penyakit yang disebabkan cacing atau biasa disebut
dengan helminthiasis merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi terutama
didaerah tropis. Keberadaan penyakit ini berkaitan dengan faktor cuaca, tingkat
sanitasi lingkungan dan sosio ekonomi masyarakat. Cacing memerlukan suhu dan
kelembaban udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak. Penyebaran penyakit
ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan masyarakat
dalam mengkonsumsi sayuran mentah, daging atau ikan yang dimasak setengah
matang merupakan salah satu cara penularan secara langsung. Bila dalam bahan
makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacing
dapat menjadi lengkap, dan terjadilah infeksi dalam tubuh manusia. Berbeda
dengan infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya, cacing dewasa tidak
bertambah banyak didalam tubuh manusia. Penyebaran penyakit ini pun dapat
terjadi melalui perantara serangga seperti nyamuk dan lalat penghisap darah
yang dapat menyebarkan telur cacing dari feses penderita cacingan. Di samping
itu, kebiasaaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman dapat
meningkatkan penyebaran telur cacing, karena dapat mengkontaminasi tanah, air
rumah tangga dan tanaman pangan tertentu. Cacing yang bersifat parasit pada manusia
terbagi atas dua golongan besar yaitu cacing bulat (nemathelminthes) dan cacing
pipih (platyhelmintes). Golongan Nemathelminthes terbagi lagi menjadi kelas
nematode, sedangkan golongan Platyhelminthes terbagi menjadi kelas trematoda
dan cestoda.
Salah satu penyakit kecacingan yang masih banyak
terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth yaitu golongan
nematoda usus yang dalam penularannya
atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah.
Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk non
infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Menurut Faust , Soil-Transmitted helminth adalah
nematoda usus yang perkembangan embrionya pada tanah. (Faust EC et al,1976)
Kondisi tanah yang lembab dengan bertumpuknya banyak
sampah merupakan habitat yang tepat untuk nematoda hidup dan berkembang biak. Tekstur
tanah yang sangat bervariasi yang terdiri dari tanah pasir, debu dan tanah liat
sangat memungkinkan hidup dan berkembang biak telur – telur cacing Soil-Transmitted
Helminths hingga menjadi cacing yang infektif menularkan penyakit
kecacingan. (Cahyo Wu, 2009)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Etiologi
Penyakit
kecacingan pada usus manusia sering disebut sebagai cacing usus, sebagian besar
penularan cacing usus ini terjadi melalui tanah. Oleh karena itu digolongkan
dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil-Transmitted Helminths.
Soil-Transmitted
Helminths adalah cacing golongan nematoda yang dalam siklus
hidupnya untuk mencapai stadium infektif memerlukan tanah dengan kondisi
tertentu (Safar, R, 2010).
Yang termasuk dalam kelompok Soil-Transmitted Helminth adalah
nematoda usus Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).
Cacing
parasit tersebut menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit kecacingan. Infeksi
cacing Soil-Transmitted Helminths merupakan infeksi kronik yang
diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi dan paling banyak
menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi cacing ini
ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing. Pencemaran telur cacing itu
terjadi karena pencemaran tanah oleh tinja, ini memudahkan transmisi telur dari
tanah kepada manusia melalui tangan yang tercemar oleh telur cacing parasit,
kemudian masuk ke mulut bersama makanan.
Biasanya
tanah yang cocok untuk perkembang biakan atau daur hidup cacing Soil-Transmitted
Helminths adalah tanah yang lembab dengan suhu lembab dan hangat, hal ini
bertujuan untuk menetaskan telur (Gracia,Lynne S. dan David A. Bruckner, 1996).
Selain suhu, kondisi cuaca dan iklim sangat mempengaruhi kondisi tanah untuk
perkembang biakan cacing Soil Transmitted Helminths.
B. Epidemiologi
Infeksi
oleh nematoda usus biasanya berkaitan dengan buruknya hygiene. Infeksi ini
selalu ada terutama di daerah tropis dan subtropis. Serangan cacing dalam
jumlah sedikit biasanya asimptomatis tetapi infeksi yang berat dapat
menimbulkan masalah yang serius terutama pada anak – anak yang biasanya diikuti
oleh terhambatnya perkembangan anak. ( Greenwood D, 2007 ; Brooks GF,2006)
Ascariasis merupakan penyakit endemic di
daerah tropis dan subtropis tetapi secara sporadis dapat terjadi di seluruh
dunia. Penduduk pedesaan dengan kondisi sanitasi yang buruk mempunyai resiko
yang tinggi terhadap infeksi cacing ini. Orang dewasa biasa terinfeksi karena makan sayur mentah
yang terkontaminasi oleh telur cacing ini baik dari feces penderita maupun dari
tanah yang tercemar feces penderita, sedangkan pada anak – anak biasa
terinfeksi dengan jalan tangan ke mulut (
hand to mouth) atau karena kebiasaan mengulum benda – benda atau mainan
yang terkontaminasi telur cacing ini. Pemakaian sepatu dan sistim pembuangan
feces yang memenuhi syarat menurunkan tingkat infeksi cacing tambang. ( Joklik
WK,1992)
Di Indonesia angka nasional prevalensi
kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan
di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006
secara berurutan adalah sebesar 33,3% ; 33,0% ; 46,8% ; 28,4% dan 32,6%,
sedangkan prevalensi infeksi cacing tambang secara berturutan pada tahun 2002 –
2006 sebesar 2,4% ; 0,6% ; 5,1% ; 1,6% dan 1,0%. ( Depkes RI, 2006)
Kejadian infeksi kecacingan pada anak
berhubungan negatif signifikan dengan perilaku sehat, dengan demikian berarti
bahwa pengertian berperilaku hidup sehat akan menurunkan insidensi kecacingan
pada anak.(Aria G, 2004)
Ascaris
lumbricoides merupakan parasit yang penting baik di daerah iklim dingin
maupun iklim panas, tetapi cacing ini lebih umum ditemukan di daerah beriklim
panas dengan kelembaban yang tinggi dan paling banyak ditemukan di
tempat-tempat dengan sanitasi yang buruk. Ascariasis ditemukan pada semua umur,
tetapi lebih sering ditemukan pada anak-anak usia 5 samapi 10 tahun. Di
Indonesia kejadian ascariasis frekuensinya antara 60 % sampai 80 %.
(Onggowaluyo JS, 2001)
Insiden
kecacingan akibat cacing tambang cukup tinggi di Indonesia, kasus penyakit ini
banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah
perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi cacing tambang
ini berhubungan erat dengan kebiasaan Buang Air Besar di tanah. Kondisi tanah
yang gembur , berpasir dan temperature sekitar 23 - 32°C merupakan tempat yang
paling sesuai untuk pertumbuhan larvanya. (Onggowaluyo JS, 2001)
Daerah penyebaran dari Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides, sehingga kedua
cacing ini sering di temukan bersama-sama dalam 1 hospes. Di Indonesia,
Frekuensinya tinggi, terutama di daearah-daerah pedesaan, antara 30% - 90%.
Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor terpenting dalam penyebaran
trichuriasis adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita, yang akan
berkembang dengan baik pada tanah liat, lembab dan teduh. (Onggowaluyo JS,
2001)
C.
Soil-transmitted
Helminths
Soil-transmitted
helminths merupakan kelompok parasit cacing nematoda yang
menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak
dengan larva yang berkembang dengan cepat pada tanah yang hangat dan basah di
negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Bentuk dewasa soil-transmitted
helminths dapat hidup selama bertahun-tahun di saluran percernaan manusia.
Lebih dari dua milyar penduduk dunia terinfeksi oleh paling sedikit satu
spesies cacing tersebut, terutama yang disebabkan oleh A. lumbricoides, T.
trichiura dan cacing tambang (WHO, 2005; WHO, 2006).
Soil-transmitted
helminths merupakan salah satu penyebab utama kemunduran
pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual yang berdampak terhadap
pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang sering terabaikan. Kurangnya
perhatian para tenaga kesehatan dan masyarakat dunia terhadap kondisi ini
disebabkan (Chan, 1997; WHO, 2006):
1. Kebanyakan
penduduk yang terinfeksi oleh Soil-transmited helmiths berasal dari
negara-negara miskin.
2. Infeksi
parasit ini menyebabkan gangguan kesehatan kronis dengan manifestasi klinis
yang tidak nyata.
3. Pengukuran
efek yang timbul akibat infeksi soil-transmitted helminths terhadap
pertumbuhan ekonomi dan pendidikan sulit dilakukan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi soil-transmitted
helminths memiliki dampak yang sangat besar terhadap tingkat kehadiran dan
prestasi sekolah serta produktivitas ekonomi dimasa mendatang (Miguel and
Kremer, 2003). World Health Assembly berusaha mengantisipasi hal
tersebut dengan membuat sebuah resolusi bagi negara-negara anggota dalam upaya
mengontrol angka kesakitan akibat infeksi soil tramitted helminths melalui
pemberian obat antelmintik dalam skala besar kepada anak usia sekolah dasar di
negara-negara miskin ( Horton, 2003).
D.
Patogenesa
dan manifestasi klinis
1. Ascariasis
Ascariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh A. lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia
dan penularannya melalui tanah. Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit
yaitu tersebar diseluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang
lembab, dengan angka prevalensi kadangkala mencapai di atas 50%. Angka
prevalensi dan intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak usia 5-15
tahun (Ditjen PP&PL Dep.Kes. RI, 2005; Bethony dkk, 2006).
Gejala klinik pada ascariasis dapat ditimbulkan oleh
cacing dewasa maupun larva, cacing dewasa tinggal diantara lipatan mukosa usus
halus dan dapat menimbulkan iritasi sehingga dapat menimbulkan rasa tidak enak
di perut, mual serta sakit perut yang tidak nyata. Kadang-kadang cacing dewasa
terbawa kearah mulut karena regurgitasi dan dimuntahkan, sehingga keluar
melalui mulut atau hidung. Atau dapat masuk ke tuba eustachii. Dinding usus
dapat ditembus oleh cacing dewasa sehingga menyebabkan peritonitis. Cacing
dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sumbatan pada lumen usus serta toxin
yang dihasilkannya akan menimbulkan manifestasi keracunan misalnya, oedema
muka, uticaria dan nafsu makan menurun. Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan eosinofili dan alergi
berupa urticaria, gejala infiltrasi paru, sembab pada bibir serta sindroma
Lofflers. Larva yang migrasi ke organ lain dapat menimbulkan endophthalmitis,
meningitis dan encephalitis. Pada anak-anak sering kali terlihat gejala perut
buncit, pucat , lesu, rambut jarang dan berwarna merah serta kurus akibat
defisiensi gizi dan anemia. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009
; Neva A and Brown HW, 1994)
Gambar
Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
(Gandahusada, S, 2006)
Siklus hidup cacing ini membutuhkan waktu empat hingga
delapan minggu untuk menjadi dewasa. Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing yang telah
berkembang (telur berembrio). Telur yang telah berkembang tadi menetas menjadi
larva diusus halus. Selanjutnya larva bergerak menembus pembuluh darah dan
limfe usus mengikuti aliran darah ke hati atau ductus thoracicus menuju
ke jantung. Kemudian larva dipompa ke paru. Larva di paru mencapai alveoli dan
tinggal disitu selama 10 hari untuk berkembang lebih lanjut. Bila larva telah
berukuran 1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke saluran nafas, ke epiglotis dan
kemudian esofagus, lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi dewasa.
Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan; paling lama bisa lebih
dari 20 bulan, cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari.
Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup di tanah
selama 17 bulan sampai beberapa tahun (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999;
Strikland, G.T. dkk , 2000).
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan
sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Kelainan patologi yang terjadi,
disebabkan oleh dua stadium sebagai berikut (Beaver dkk, 1984; Markell dkk,
1999; Strikland, G.T. dkk, 2000):
a. Kelainan
oleh larva, yaitu berupa efek larva yang bermigrasi di paru (manifestasi
respiratorik). Gejala yang timbul berupa demam, dyspneu, batuk, malaise
bahkan pneumonia. Gejala ini terjadi 4-16 hari setelah infeksi. Cyanosis
dan tachycardia dapat ditemukan pada tahap akhir infeksi. Semua
gejala ini dinamakan Ascaris pneumonia atau Syndroma loffler.
Kelainan ini akan menghilang dalam waktu ± 1 bulan.
b. Kelainan
oleh cacing dewasa, berupa efek mekanis yang jika jumlahnya cukup banyak, akan
terbentuk bolus dan menyebabkan obstruksi parsial atau total. Migrasi yang
menyimpang dapat menyebabkan berbagai efek patologi, tergantung kepada tempat
akhir migrasinya. Infeksi Ascaris lumbricoides dapat menyebabkan
gangguan absorbsi beberapa zat gizi; seperti karbohidrat dan protein, dan
cacing ini dapat memetabolisme vitamin A, sehingga menyebabkan kekurangan gizi,
defisiensi vitamin A dan anemia ringan.
2. Trichuriasis
Trichuriasis adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh T. trichiura (cacing cambuk) yang hidup di usus
besar manusia khususnya caecum yang penularannya melalui tanah. Cacing
ini tersebar di seluruh dunia, prevalensinya paling tinggi berada di daerah
panas dan lembab seperti di negara tropis dan juga di daerah-daerah dengan
sanitasi yang buruk, cacing ini jarang dijumpai di daerah yang gersang, sangat
panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan penyebab infeksi cacing kedua
terbanyak pada manusia di daerah tropis (; Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999)
Trichuriasis paling sering menyerang anak usia 1 – 5
tahun, infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Pada infeksi berat, cacing
tersebar ke seluruh colon dan rectum kadang-kadang terlihat pada mucosa
rectum yang prolaps. Infeksi kronis dan
sangat berat menunjukkan gejala-gejala anemia berat, Hb rendah sekali dapat
mencapai 3 gr%, karena seekor cacing setiap hari menghisap darah 0,005 cc,
diare dengan feses sedikit dan mengandung sedikit darah, sakit perut, mual,
muntah serta berat badan menurun, kadang-kadang disertai prolapsus recti.
(Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW,
1994)
Gambar
Siklus Hidup Trichuris trichuira
(Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita
Pribadi, 2006)
Siklus hidup cacing ini langsung dan menjadi dewasa pada satu inang.
Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal manusia
dan dapat hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Cacing betina
diperkirakan memproduksi lebih dari 1000 telur perhari. Telur yang keluar
melalui tinja menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (lebih kurang tiga
minggu) di tanah yang hangat dan lembab. Manusia mendapat infeksi karena
menelan telur infektif dari tanah yang mengkontaminasi tangan, makanan, dan
sayuran segar. Selanjutnya larva cacing tumbuh dan berkembang menjadi dewasa
dalam waktu 1-3 bulan setelah infeksi. Telur ditemukan dalam tinja setelah
70-90 hari sejak terinfeksi (Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000)
Infeksi ringan pada manusia biasanya tanpa gejala.
Kelainan patologi disebabkan oleh cacing dewasa. Bila jumlah cacing cukup
banyak dapat menyebabkan colitis dan apendisitis akibat blokade lumen appendics.
Infeksi yang berat menyebabkan nyeri perut, tenesmus, diare berisi darah dan
lendir (disentri), anemia, prolapsus rektum, dan hipoproteinemia. Pada anak,
cacing ini dapat menyebabkan jari tabuh (clubbing fingers) akibat anemia
dan gangguan pertumbuhan (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T.
dkk, 2000).
3. Infeksi
cacing tambang
Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh
infeksi parasit cacing nematoda N. americanus dan Ancylostoma
duodenale yang penularannya melalui kontak dengan tanah yang
terkontaminasi. Cacing ini merupakan penyebab infeksi kronis yang paling
sering, dengan jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan mencapai seperempat
dari populasi penduduk dunia di negara tropis dan subtropis. Jumlah penderita
infeksi cacing tambang paling banyak dijumpai di Asia, kemudian diikuti
negara-negara sub–Sahara Afrika. N. americanus merupakan cacing tambang
yang paling banyak dijumpai di berbagai belahan dunia, sedangkan A.
duodenale penyebarannya secara geografis sangat terbatas (Tanaka dkk, 1980;
Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000;)
Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh
larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk
maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch).
Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing
dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak
enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3
ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer,
type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi,
pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah
dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada
jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada
anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari
pada infeksi oleh Necator americanus.
(Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW,
1994)
Gambar Siklus Hidup cacing tambang
(Gandahusada, S., Ilahude, Wita Pribadi, 2006)
Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum
dan bagian atas ileum. Cacing betina N. americanus dapat
memproduksi 10.000 telur sehari dan A. duodenale memproduksi 20.000
telur sehari. Dalam kondisi yang memungkinkan; tanah berpasir yang hangat dan
lembab, telur di tanah tumbuh dan berkembang menjadi embrio dalam 24-48 jam
pada suhu 23 sampai 30 °C. Penularan terjadi karena penetrasi larva filariform
melalui kulit atau pada Ancylostoma duodenale lebih sering tertular
karena tertelan larva filariform dari pada penetrasi larva tersebut
melalui kulit. Selanjutnya cacing ini tumbuh dan berkembang menjadi cacing
dewasa, kawin dan mulai bertelur empat sampai tujuh minggu setelah terinfeksi.
Larva filariform A. duodenale yang tertelan tumbuh dan berkembang
menjadi cacing dewasa tanpa migrasi paru. Cacing dewasa dapat hidup selama satu
tahun (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000)
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan
sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat, kelainan
patologi yang terjadi, disebabkan oleh tiga fase sebagai berikut (Tanaka dkk,
1980; Beaver dkk, 1984).
a. Fase
cutaneus, yaitu cutaneus larva migrans, berupa efek larva yang
menembus kulit. Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground itch.
Timbul rasa nyeri dan gatal pada tempat penetrasi.
b. Fase
pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari pembuluh
darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering, asma yang
disertai dengan wheezing dan demam.
c. Fase
intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa
pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi usus
halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang berdarah dan
berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing tambang kronis
akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh cacing tersebut di
mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu ekor cacing adalah 0,03
mL pada infeksi Necator americanus dan 0,15 mL pada infeksi Ancylostoma
duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap harinya adalah 2 mL/1000
telur/gram tinja pada infeksi Necator americanus dan 5 mL/1000
telur/gram tinja pada infeksi Ancylostoma duodenale, sehingga kadar
hemoglobin dapat turun mencapai level 5 gr/dl atau lebih rendah. Pada anak,
infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan fisik dan mental.
4. Infeksi
oleh Strongyloides stercoralis
Cacing ini disebut juga dengan cacing benang.
Predileksi cacing dewasanya pada mucosa usus halus terutama duodenum dan
jejunum manusia. Cacing dewasa betina mempunyai ukuran 2 x 0,04 mm, tidak
berwarna dan berbentuk seperti benang halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut
dan oesophagus yang panjang.
Gambar
Siklus Hidup Cacing Strongyloides stercoralis
(Gandahusada, S., Ilahude, Wita Pribadi,
2006 )
Telur cacing ini berukuran 54 x 32 mikron, berbentuk
lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan
di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang mempunyai
ukuran 200 – 250 mikron. Kemudian larva rabditiform menembus sel epithel dan
masuk ke dalam lumen usus. Terdapat 3
kemungkinan yang dapat terjadi selanjutnya yaitu :
Pertama yang disebut sebagai autoinfeksi yaitu larva rabditiform dalam usus halus berubah
menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus mukosa usus
masuk ke dalam peredaran darah vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru,
menembus kapiler menuju alveoli, kemudian migrasi ke bronchi, larynx, pharynx
dan tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan kedua, yaitu larva rabditiform
keluar bersama feses penderita. Di tanah, larva rabditiform setelah 2-3 hari
berubah menjadi larva filariform yang merupakan larva infektif. Manusia
tertular akibat masuknya larva infektif melalui kulit, masuk ke dalam peredaran
vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, kemudian menembus kapiler menuju
alveoli, dan mengalami migrasi ke bronchus, larynx, pharynx , tertelan masuk
oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan ke tiga yaitu
larva rabditiform keluar bersama feses penderita, ditanah berubah menjadi larva
filariform kemudian berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina yang hidup
bebas. Setelah kopulasi, cacing betina yang hidup bebas menghasilkan telur yang
kemudian menetas menjadi larva rabditiform dan selanjutnya menjadi larva
filariform yang infektif. Kemudian larva filariform akan menembus kulit hospes
dan sesudah melalui tahap migrasi paru larva akan menjadi dewasa dalam usus
halus. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Markell et al, 1992; Soedarto, 2008).
Strongylidiasis ringan biasanya tidak menimbulkan
gejala, pada infeksi sedang cacing dewasa betina yang bersarang dalam mukosa
duodenum menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah epigastrium,
disertai rasa mual , muntah, diare bergantian dengan konstipasi. Pada infeksi
berat dan kronis mengakibatkan berat badan turun, anemi, disentri menahun serta
demam ringan yang disebabkan infeksi bakteri sekunder pada lesi usus. Kematian
dapat terjadi akibat bersarangnya cacing betina di hampir seluruh epithel usus,
meliputi daerah lambung sampai ke daerah colon bagian distal yang disertai
infeksi sekunder bakteri. (Natadisastra D dan Agoes R, 2009)
Autoinfeksi mungkin merupakan mekanisme dari
terjadinya infeksi jangka panjang yang menetap dan bertahun-tahun. Parasit dan
hospesnyan berada dalam status keseimbangan sehingga tidak terjadi kerusakan
yang berarti. Jika oleh karena sesuatu hal, keseimbangan ini terganggu dan
keadaan imunitas penderita menurun, maka infeksinya akan meluas dan
meningkatkan produksi larva dan larvanya dapat ditemukan pada setiap jaringan
tubuh. Keadaan ini disebut dengan sindroma hiperinfeksi. (Gracia, 1977)
E.
Infeksi
cacing cestoda dan trematoda
1.
Infeksi cacing cestoda
Cacing pita (Taenia) memiliki 6 jenis spesies
yaitu Taenia crassiceps, Taenia pisiformis, Taenia saginata,
Taenia solium, Taenia asiatica, Taenia taeniaeformis.
Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit
vertebrata penting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan
kerbau. Yang berarti cacing pita hidup dalam tubuh manusia. Taenia dapat
menimbulkan penyakit pada tubuh manusia yang dikenal dengan istilah taeniasis
dan sistiserkosis. Penyakit ini disebabkan oleh spesies Taenia yaitu Taenia
solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica.
Perkembangbiakan cacing pita (Taenia) yang
terdapat didalam tubuh manusia adalah cacing pita (Taenia) dewasa
merupakan induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah
matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara
pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitive (manusia) maupun inang
antara (sapid dan babi) menelan telur maka telur yang menetas akan mengeluarkan
embrio (onchosphere)yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing
yang mengikuti sirkulasi darah limfa berangsur-angsur berkembang menjadi
sistikorsis yang infrktif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering
terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah
esophagus, leher dan otot antar tulang rusuk.
Infeksi Taenia dikenal dengan istilah Taeniasis dan Sistiserkosis. Taeniasis adalah
penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia
yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh
spesies Taenia solium atau dikenal dengan cacing pita babi,
sementara Taenia saginata dikenal dengan nama cacing pita sapi. Sistiserkosis pada manusia adalah
infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur
cacing Taenia solium (cacing pita babi). Cacing pita babi dapat
menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak dapat
menyebabkan sistikorsis pada manusia. Sedangkan kemampuan Taenia asiatica
dalam menyebabkan sistikorsis belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan
bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi
atau daging babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga
sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Manusia
terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur Taenia
solium. Hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh
individu penderita melalu pengeluaran dan penelanan kembali makanan. Sumber
penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:
a. Penderita
taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh
(proglotoid) cacing pita.
b. Hewan,
terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus).
c. Makanan,
minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
Penyebaran cacing pita diIndonesia tertinggi adalah
yang terjadi di bagian Kabupaten Jayawijaya Papua. Ditemuka 66,3% (106 orang
dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium atau sistiserkosis
selulosaedari babi. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan
diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) diantaranya adalah
pendeita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsy. Dari
257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita
epilepsy akibat adanya sistiserkosis pada otak.
Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan
pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2%-21%,
sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%.
Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsy di Bali
didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi taeniasis Taenia
asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus Taenia asiatica
di provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah
matang.
Gejala klinis yang disebabkan oleh penyakit taeniasia
dan sistiserkosis adalah : Pengeluaran segmen tubuh cacing dalam fesesnya, gatal-gatal
pada anus, mual, pusing, peningkatan nafsu makan, sakit kepala, diare, lemah,
merasa lapar, sembelit, penurunan berat badan, rasa tidak enak pada lambung,
letih, muntah, tidak ada selera makan saat lapar, pegal pada otot, nyeri
diperut, mengantuk, serta kejang-kejang, gelisah, gatal-gatal pada kulit dan
gangguan pernapasan (masing-masing < 1%).
Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek
sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh. Manusia dapat terjangkit satu sampai
ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda-beda. Sistiserkus pada
manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis), mata,
otot dan lapisan bawah kulit.
Neurosistiserkosis adalah infeksi sistem saraf pusat
akibat sistiserkus dari larva Taenia solium. Ini adalah dampak Tenia
yang paling berbahaya yang dapat menimbulkan kematian. Dampak ini merupakan
faktor resiko penyebab stroke baik pada manusia muda maupun setengah baya,
epilepsy dan kelainan pad atengkorak. Sistiserkosis merupakam penyebab 1%
kematian pada rumah sakit umum di Mexico City dan penyebab 25% tumor dalam
otak.
Kesimpulannya adalah cacing pita (Taenia) dapat
hidup didalam tubuh manusia dan hewan. Manusia dan hewan dapat terjangkit
cacing pita melalui apa saja, dari makanan atau lingkungan. Cacing pita yang
berada dalam tubuh dapat menimbulkan penyakit dari yang sederhana sampai yang
mematikan. Maka diperlukan pengendalian dalam pencegahan cacing pita berada
ditubuh kita. Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan
memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai
agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui diagnose dini dan pengobatan
terhadap penderita yang terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat digunakan
yaitu Atabrin, Librax, Niclosamide dan Praziquantel. Sedangkan untuk mengobati
sistiserkosis dapat digunakan Albendazole dan Dexamethasone. Untuk mengurangi
kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia maupun hewan diperlukan
peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi
pada ternak, terutama babi didaerah endemis taeniasis atau sistiserkosis serta
peningkatan kualitas dan kecukupan gizi manusia.
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk
memutuskan siklus hidup Taenia karena lingkungan yang kotor menjadi
sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam fese ke
lingkungan menjadi sumber penyebaran taeniasis atau sistiserkosis. Faktor
resiko utama transmisi telut Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi
secara ekstensif, defekasi manusia di dekat pemeliharaan babi sehingga babi
memakan feses manusia dan pemeliharaan babi dekat dengan manusia. Hal yang sama
juga berlaku pada transmisi telur Taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat
terbawa oleh air ke tempat-tempat lembap sehingga telur cacing lebih lama
bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas.
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan
dapat dilakukan melaui peningkatan sarana sanitasi, pencegahan konsumsi daging
yang terkontaminasi, pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan
minuman. Pembangunan sarana sanitasi, misalnya kakus dan septic tank,
serta penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi
daging yang terkotaminasi dapat dilakukan melalui pemotongan ternak dirumah
potong hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter hewan.
2.
Infeksi cacing Trematoda
Trematoda adalah cacing yang secara morfologi
berbentuk pipih seperti daun. Pada umumnya cacing ini bersifat hermaprodit,
kecuali genus
Schistosoma. Pada dasarnya daur
hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase kehidupan dimana dalam fase
tersebut memerlukan hospes intermedier untuk perkembangannya. Fase daur hidup
tersebut adalah sebagai berikut:
Telur---meracidium---sporocyst---redia---cercaria—metacercaria---cacing
dewasa.
Dimana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies cacing
trematoda.
Menurut lokasi berparasitnya cacing trematoda dikelompokkan sbagai
berikut:
·
Trematoda pembuluh darah: Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. Japonicum
·
Trematoda paru: Paragonimus westermani
·
Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma
revolutum, E. Ilocanum
·
Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. gigantica.
a. Schistosomiasis (Schistosoma
haematobium, S. Mansoni, S. Japonicum)
Efek patologi dari cacing ini
sangat bergantung pada spesiesnya. Progresifitas dari penyakit dari ke 3 cacing
ini ada 3 fase yaitu:
-
Fase awal, selama 3-4 minggu setelah infeksi yang menunjukkan gejala
demam, toksik dan alergi.
-
Fase
intermediate sekitar 2,5 bulan sampai beberapa tahun
setelah infeksi, yaitu adanya perubahan patologi pada saluran pencernaan dan
saluran kencing dan waktu telur cacing keluar tubuh.
-
Fase terakhir, adanya komplikasi gastro-intestinal, renal dan sistem
lain, sering tak ada telur cacing yang keluar tubuh.
Proses
permulaan dari fase ketiga spesies cacing adalah sama yaitu: Demam yang
berfluktuasi, kulit kering, sakit perut, bronchitis, pembesaran hati dan limpa
serta diare.
Ø
Kerusakan yang nyata disebabkan oleh telur
cacing, dimana S. mansoni , usus
besar lebih terpengaruh. Telur terdapat dalam venula dan submukosa yang bertindak
sebagai benda asing, sehingga menyebabkan reaksi radang dengan laukosit dan
infiltrasi fibroblast. Hal tersebut menimbulkan nodule disebut pseudotuberkel, karena nodule yang
disebabkan reaksi jaringan. Abses kecil akan terbentuk sehingga menyebabkan
nekrosis dan ulserasi. Sering ditemuai adanya sel eosinofil dalam jumlah besar
dalam darah dan diikuti penurunan jumlah sel radang. Banyak telur terbawa
kembali kedalam jaringan hati dan menumpuk dalam kapiler hati sehingga
menimbulkan reaksi sel dan terbentuk nodule pseudotuberkel.
Hal tersebut menimbulkan reaksi pembentukan sel
fibrotik (jaringan ikat) didalam hati dan menyebabkan sirosis hepatis dan
mengakibatkan portal hipertensi. Pembengkakan limpa terjadi karena kongesti
kronik dalam hati. Karena terjadinya kongesti pembuluh darah viscera
mengakibatkan terjadinya ascites.
Sejumlah telur cacing dapat terbawa kedalam paru-paru, sistem saraf dan organ
lain sehingga menyebabkan terbentuknya pseudotuberkel di setiap lokasi tersebut.
Ø
S.
japonicum menyebabkan perubahan patologi terutama di dalam intestinum dan
hati, mirip dengan yang disebabkan oleh S.
mansoni, tetapi lebih parah bagian yang menderita ialah usus kecil. Nodule
yang dikelilingi jaringan fibrosa yang berisi telur cacing ditemukan pada
jaringan serosa dan permukaan peritonium. Telur cacing S. japonicum terlihat lebih sering mencapai jaringan otak
daripada dua spesies lainnya, sehingga menyebabkan gangguan saraf yaitu: koma
dan paralysis (99% kasus). Schistosomiasis disebabkan oleh S. japonicum, terlihat lebih parah prognosanya dapat infausta pada
infeksi yang berat dan tidak lekas diobati.
Ø
Infeksi oleh S.
hematobium terlihat paling ringan dibanding dua spesies lainnya. Selama
cacing dewasa tinggal didalam venula kantong kencing, gejala yang terlihat
adalah adanya gangguan pada sistem urinaria saja yaitu: cystitis, hematuria dan
rasa sakit pada waktu kencing. Terjadinya hematuria biasanya secara gradual dan
menjadi parah bila penyakit berkembang dengan adanya ulserasi pada dinding
kantong kencing. Rasa sakit terjadi akhir urinasi. Perubahan patologi dinding
kantong kencing disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap telur sehingga membentuk
pseudotuberkel, infiltrasi sel fibrotik, penebalan lapisan muskularis dan
ulserasi.
b. Fasciolopsis buski
Cacing dewasa hidup dalam usus halus memproduksi
telur sampai 25000 butir/ekor/hari yang keluar melalui feses. Telur menetas
pada sushu optimum (27-32oC) selama sekitar 7 minggu. Meracidium keluar dan
masuk kedalam hospes intermedier siput yang termasuk dalam genus segmentia dan
hippeutis (planorbidae) untuk membentuk sporocyst. Sporocyst berada dalam
jantung dan hati siput, kemudian mengeluarkan redia induk, kemudian redia induk
memproduksi redia anak. Redia berubah menadi cercaria keluar dari tubuh siput
dan berenang dalam air, kemudian menempel pada tanaman/sayuran/rumput dimana
cercaria berubah menjadi metacercaria. Bila tanaman tersebut dimakan/termakan
manusia/babi maka cercaria menginfeksi hospes definitif.
Patologi
Perubahan patologi yang disebabkan oleh cacing ini
ada tiga bentuk yaitu toksik, obstruksi dan traumatik. Terjadinya radang di
daerah gigitan, menyebabkan hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga
menyebabkan hambatan makanan yang lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi,
haemoragik dan absces pada dinding usus. Terjadi gejala diaree kronis. Toksemia
terjadi sebagai akibat dari absorpsi sekresi metabolit dari cacing, hal ini
dapat mengakibatkan kematian.
c. Paragonimus westermani
Cacing dewasa biasanya hidup di paru yang diselaputi
oleh jaringan ikat dan biasanya berpasangan. Cacing tersebut juga dapat
ditemukan pada organ lainnya. Fertilisasi silang dari dua cacing biasanya
terjadi (hermaprodit). Telurnya sering terjebak dalam jaringan sehingga tidak
dapat meninggalkan paru, tetapi bila dapat keluar kesaluran udara paru akan
bergerak ke silia epitelium. Sampai di pharynx, kemudian tertelan dan mengikuti
saluran pencernaan dan keluar melalui feses. Larva dalam telur memerlukan waktu
sekitar 16 hari sampai beberapa minggu sebelum berkembang menjadi miracidium.
Telur kemudian menertas dan miracidium harus
menemukan hospes intermedier ke 1, siput Thieridae
supaya tetap hidup. Didalam tubuh siput miracidium cepat membentuk sporocyst
yang kemudian memproduksi rediae yang kemudian berkembang menjadi cercariae,
dimana ceracaria ini berbentuk micrococcus. Setelah keluar dari siput cercariae
menjadi aktif dan dapat merambat batuan dan masuk kedalam kepiting (crab) dan Crayfish, dan membentuk cysta dalam
viscera atau muskulus hewan tersebut (hospes intermedier ke 2). Hospes
intermedier ke 2 ini di Taiwan adalah kepiting yang termasuk spesies Eriocheir japonicus. Dapat juga terjadi
infeksi bila krustasea ini langsung memakan siput yang terinfeksi.
Cercaria kemudian membentuk metacercaria yang menempel
terutama pada filamen insang dari krustasea tersebut. Bilamana hospes definitif
memakan kepiting (terutama bila dimakan mentah/tidak matang), maka metacercaria
tertelan dan menempel pada dinding abdomen. Beberapa hari kemudian masuk
kedalam kolon dan penetrasi ke diafragma dan menuju pleura yang kemudian masuk
ke broncheol paru. Cacing kemudian menjadi dewasa dalam waktu 8-12 minggu. Larva
migran mungkin dapat berlokasi dalam otak, mesenterium, pleura atau kulit.
Patologi
Pada fase awal invasi tidak memperlihatkan gejala
patologik. Pada jaringan paru atau jaringan ektopik lainnya, cacing akan
merangsang terbentuknya jaringan ikat dan membentuk kapsul yang berwarna
kecoklatan. Kapsul tersebut sering membentuk ulser dan secara perlahan dapat
sembuh. Telur cacing di dalam jaringan akan merupakan pusat terbentuknya pseudotuberkel.
Cacing dalam saraf tulang belakang (spinal cord) akan
dapat menyebabkan paralysis baik total maupun sebagian. Kasus fatal terjadi bila
Paragonimus berada dalam jantung. Kasus
serebral dapat menunjukkan gejala seperti Cytisercosis.
Kasus pulmonaris dapat menyebabkan gejala gangguan pernafasan yaitu sesak
bila bernafas, batuk kronis, dahak/sputum becampur darah yang berwarna coklat
(ada telur cacing). Kasus yang fatal sering tetrjadi.
3. Dampak infeksi cacing pada anak
Selama ini
masalah kecacingan sering tidak disadari sehingga sering diabaikan dan
mengakibatkan keterlambatan pengobatan. Kecacingan memang bukanlah suatu
penyakit yang sangat berbahaya, namun jangan diabaikan karena sebenarnya banyak
masalah yang dapat timbul yang mempengaruhi kehidupan secara keseluruhan jika
tidak diatasi dengan baik.
Banyak hal yang
dapat terjadi jika seorang anak menderita kecacingan, apalagi kecacingan
menahun yang tidak tertangani dengan baik, antara lain:
a. Penurunan
fungsi kognitif (kecerdasan)
b. Kurang
darah
c. Diare
menahun dengan atau tanpa tinja berdarah
d. Gatal-gatal
di sekitar anus
e. Radang
paru-paru ( sindroma Loeffler )
f. Malnutrisi
( kurang gizi )
g. Biduran
h. Gangguan
pertumbuhan
i.
Radang usus buntu
j.
Sumbatan usus
k. Nyeri
perut
Pada
semua penderita kecacingan, yang paling sering ditemukan adalah kurang darah (
anemia ). Anemia merupakan suatu penyakit kurang darah, yang dapat mendatangkan
berbagai macam gejala, misalnya pucat, lesu, lemas, tidak bergairah, kurang
tenaga, dan kurang nafsu makan. Pada jangka panjang seorang anak yang menderita
anemia akan terpengaruh kecerdasan dan prestasi belajarnya, akibat kurangnya
konsentrasi dan daya ingat anak. Selain itu penurunan fungsi kecerdasan diduga
juga secara langsung diakibatkan dilepaskannya zat yang disebut sitokin akibat
peradangan usus dan juga zat yang dilepaskan oleh cacing. Tentu kita tidak
menghendaki generasi muda kita terganggu intelegensianya dan juga pertumbuhan
badannya.
Tingkat
kejadian infeksi cacing pada anak-anak SD di Indonesia mencapai 80%. Kondisi
ini dapat terjadi dimana saja baik di kota maupun di desa. Mengapa angka
kejadian ini cukup tinggi? Angka kejadian infeksi cacing yang tinggi di
Indonesia ternyata tidak lepas dari keadaan di Indonesia yang beriklim tropis
dengan kelembaban udara yang tinggi, serta tanah yang subur, yang merupakan
lingkungan yang sangat optimal bagi kehidupan cacing. Selain itu, juga karena
rendahnya standar kebersihan lingkungan dan kebersihan diri serta minimnya
tingkat ketidaktahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya kecacingan.
Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi juga berakibat kepada mudahnya terjadi
penularan serta menyulitkan pemutusan rantai penularan yang terjadi.
Satu
hal yang teramat penting namun jarang kita ketahui ternyata kecacingan dapat
menimbulkan penurunan fungsi kognitif atau kecerdasan pada anak. infeksi cacing
cambuk (Trichuris trichiura) secara langsung mengakibatkan penurunan fungsi
kecerdasan pada anak-anak. (Fungsi kognitif adalah fungsi yang mengatur
kegiatan mendapat pengetahuan serta usaha mengenali sesuatu melalui
pengalaman.)
Secara
khusus perlu diperhatikan bahwa tingkat insiden infeksi cacing cambuk dalam 5
tahun terakhir di Indonesia terus meningkat dan pada beberapa tempat telah
menempati peringkat teratas. Bahkan di DKI Jakarta, menurut penelitian yang
dilakukan oleh salah satu yayasan di Indonesia (dimuat dalam Surat Kabar
Kompas, 23 Maret 2002), tingkat insiden infeksi cacing cambuk sudah mencapai
64.7 %.
4. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi
Sampai
saat ini kejadian penyakit kecacingan akibat infeksi nematoda usus golongan Soil-Transmitted helminth masih cukup
tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor yang menunjang.
Perilaku buang air besar tidak pada jamban
menyebabkan terjadinya pencemaran tanah oleh telur cacing-cacing tambang
sehingga meningkatkan resiko terinfeksi terutama pada orang dewasa atau anak –
anak yang tidak memakai alas kaki. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak yang tinggal pada lingkungan rumah dengan
tanah halaman terkontaminasi telur cacing tambang memiliki resiko terinfeksi
larva cacing tambang sebesar 13,0 kali lebih besar dibanding anak yang tinggal
pada lingkungan rumah tanpa kontaminasi telur cacing tambang. (Sumanto D,2010)
Anak yang tinggal dalam keluarga yang memiliki
kebiasaan defekasi di kebun dan tempat lain halaman rumah, beresiko terinfeksi
cacing tambang 4,3 kali lebih besar dibanding anak yang tinggal dengan keluarga
yang memiliki kebiasaan defekasi di jamban. (Sumanto D, 2010)
Sanitasi rumah merupakan faktor resiko kejadian
infeksi cacing tambang, anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi yang buruk
beresiko sebesar 3,5 kali lebih besar
terinfeksi cacing tambang dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam
rumah dengan sanitasi yang baik. (Sumanto D, 2010)
Anak yang mempunyai kebiasaan tidak memakai alas
kaki beresiko terinfeksi cacing tambang 3,29 kali lebih besar dibanding anak
yang mempunyai kebiasan memakai alas kaki dalam aktifitasnya
sehari-hari.(Sumanto D, 2010)
Anak yang mepunyai kebiasaan bermain dalam waktu
yang lama di tanah, beresiko terinfeksi cacing tambang 5,2 kali lebih besar
disbanding anak yang hanya sebentar bermain di tanah dalam sehari. (Sumanto D,
2010)
Faktor iklim misalnya temperatur, kelembaban, curah
hujan, mungkin merupakan faktor penting prevalensi infeksi Soil-Transmitted Helminth. Tingkat pendidikan yang rendah, hygiene pribadi
dan lingkungan yang buruk , sosio ekonomi yang rendah dan perilaku juga
merupakan faktor lain yang berpengaruh. (Wijana DP and Sitisna P, 2000)
Di Negara kaya dan maju banyak penyakit parasit yang
dapat diberantas, sebaliknya pada Negara miskin dan terbelakang memperlihatkan
prevalensi parasit yang lebih tinggi. (Onggowaluyo JS,2001)
Sehingga dari kajian diatas faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian infeksi oleh cacing Soil-Transmitted
Helminth di Indonesia adalah :
1.
Faktor iklim : Indonesia merupakan
daerah beriklim tropis dengan kelembaban yang tinggi serta suhu yang menunjang
perkembangan biakan larva maupun telur cacing.
2.
Tingkat pendidikan : Penduduk Indonesia
sebagian besar masih tinggal di desa-desa dengan tingkat pendidikan yang
rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian pribadi dan kesehatan pribadi
serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang
tempat (ditanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di
luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.
3.
Sosio-ekonomi : sebagian besar
masyarakat Indonesia, berpenghasilan rendah, hal ini menyebabkan ketidak
mampuan masyarakat untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan.
5. Diagnosis Kecacingan
Cara untuk mengetahui apakah seorang anak menderita
kecacingan atau tidak sebenarnya tidaklah sulit bila cacing ditemukan keluar
bersama tinja. Namun tidak pada semua kasus kecacingan, cacingnya dapat
ditemukan dengan mudah. Mudah tidaknya diagnosis kecacingan ditentukan oleh
berat ringan kasus kecacingan yang terjadi. Pada kasus yang ringan, seringkali
gambaran infeksi cacing yang terjadi tidak jelas. Pada kasus-kasus seperti ini,
tentulah diperlukan pemeriksaan tambahan dengan alat bantu mikroskop, untuk
mencari telur cacing yang terdapat pada tinja penderita ataupun mencari telur
cacing di sekitar anus dengan menggunakan usapan anus dengan perekat. Namun,
sebenarnya sebelum melakukan pemeriksaan yang lebih lanjut, kita dapat menduga
terjadinya kecacingan tersebut dengan melihat hal-hal yang timbul akibat
kecacingan.
Perlu
waspada anak terkena infeksi cacing jika :
·
Berat badan anak tidak sesuai dengan
umur
·
Anak menjadi tidak nafsu makan, lemah,
lesu, pucat, tidak bergairah dan mudah lelah.
·
Anak mengeluh sulit mengerti pelajaran
di sekolah.
·
Anak mengeluh gatal-gatal di sekitar
anus terutama pada malam hari.
6. Pemberantasan
Kecacingan
Strategi
pemberantasan kecacingan di masyarakat tergantung bagaimana Intervensi yang
dilakukan pada salah satu siklus hidup parasit, akan mempengaruhi transmisi
parasit tersebut. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan
bahwa prevalensi infeksi soil-transmitted helminths berhubungan dengan
higiene dan sanitasi serta sikap masyarakat. Penggunaan obat-obat antelmintik
saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan infeksi soil-transmitted
helminths yang simptomatis saja, tetapi juga dipakai dalam skala besar guna
mengurangi angka morbiditas pada masyarakat di daerah endemis. Banyak sekali
bukti yang menunjukkankan bahwa infeksi kronis soil-transmitted helminths dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan, status gizi yang buruk dan daya kognitif yang
rendah pada anak (Bundy dkk, 2002).
1.
Higiene dan sanitasi
Penelitian yang dilakukan oleh Ismid,
dkk (1988) dan Margono, dkk (1991) mendapatkan adanya hubungan yang bermakna
antara infeksi soil-transmitted helminths (infeksi A. lumbricoides)
pada anak dan kebersihan pribadi serta sanitasi lingkungan. Soeripto (1986)
pada penelitiannya membuktikan bahwa pembinaan air bersih, jamban keluarga dan
kesehatan lingkungan, sesudah pengobatan cacing secara massal pada penduduk
dapat mengurangi penularan dan menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted
helminths di pedesaan, terutama pada anak usia kurang dari 10 tahun.
Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh
besarnya kontaminasi tanah yang terjadi. Kontaminasi tanah dengan telur cacing
merupakan indikator keberhasilan program kebersihan di masyarakat (Schulz dan
kroeger, 1992). Menurut O’lorcain dan Holland (2000) untuk jangka panjang,
perbaikan higiene dan sanitasi merupakan cara yang tepat untuk mengurangi
infeksi soil-transmitted helminths.
2.
Pengobatan
Pengobatan secara berkala dengan obat
antelmintik golongan benzimidazol pada anak usia sekolah dasar dapat mengurangi
dan menjaga cacing-cacing tersebut berada pada kondisi yang tidak dapat
menimbulkan penyakit (Bundy dkk, 2002). Keuntungan pemberantasan kecacingan
secara berkala pada kelompok anak usia sekolah meliputi :
a. Meningkatkan
cadangan besi.
b. Meningkatkan
pertumbuhan dan kondisi fisik.
c. Meningkatkan
daya kognitif dan tingkat kehadiran sekolah.
d. Mengurangi
kemungkinan terkena infeksi sekunder.
Pada
anak-anak yang lebih muda, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan
berdasarkan indikator nutrisi seperti mengurangi jumlah anak yang kurus, malnutrisi,
perawakan yang pendek dan meningkatkan selera makan (Stephensons dkk, 1989;
Stephensons dkk, 1993; Stoltzfus dkk, 1997)
Berbagai
jenis obat cacing telah dikenal seperti golongan piperazin, levamisol, pirantel
pamoat, oxantel-pirantel pamoat, mebendazol dan yang terakhir ini adalah
albendazol. Pada prinsipnya obat cacing yang baik adalah obat yang dapat
bekerja terhadap berbagai stadium cacing (yaitu telur, larva, dan dewasa),
mempunyai efikasi yang baik untuk semua jenis nematoda usus dan efek samping
minimal.
Pencegahan Kecacingan Dalam Keluarga
·
Mencuci tangan sebelum makan.
·
Gunakan selalu alas kaki.
·
Anjurkan pengasuh anak mencuci tangan
sebelum memegang anak atau menyuapi anak.
·
Cuci sayur-mayur & buah-buahan
mentah dengan air mengalir.
·
Menutup makanan agar terhindar dari
lalat.
·
Hindari jajan makanan sembarangan
·
Anjurkan anggota keluarga minum obat
cacing setiap 3 atau 4 bulan sekali.
·
Minumlah obat cacing secara rutin
minimal 4 bulan sekali untuk seluruh keluarga
·
Pilihlah obat cacing yang dapat membunuh
semua jenis cacing, terutama yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya
membasmi cacing cambuk.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
Hubungan Parasit Helminth dengan
Kesejahteraan Manusia sangatlah erat. Masalah penyakit kecacingan di Indonesia
sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi
lingkungan penderita , sosio-ekonomi penderita serta tingkat pendidikan
penderita, iklim dan kebersihan diri perorangan, rumah maupun lingkungan
sekitarnya serta kepadatan penduduk yang tinggi. Pada saat musim hujan, udara
yang lembab, rumah yang berlantai tanah, pengetahuan sanitasi kesehatan yang belum
memadai, keadaan ekonomi yang rendah didukung oleh iklim yang sesuai akan
mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing sehingga dapat menyebabkan
tingginya infeksi cacing.
Penyakit
cacingan menurunkan keadaan kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas
penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena
menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein, kehilangan darah sehingga
menurunkan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang menurun
menyebabkan produktifitasnya dalam mencari pendapatan akan menurun pula sehingga
tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan baik, akibatnya gizi yang
seharusnya didapatkan dengan cukup akan menjadi berkurang. Kesejahteraan
masyarakat dapat dilihat bahwa masyarakat tersebut dapat memenuhi kebutuhannya
primernya yaitu sandang, papan dan pangan. Manusia yang terkena cacingan karena
produktifitasnya menurun sehingga mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan
primernya. Jadi, penyakit cacingan dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat
yang terjangkit penyakit tersebut.
Cara
yang paling tepat untuk menanggulangi dan memberantas parasit adalah dengan
cara memutus lingkaran hidup cacing, pengobatan masal secara periodik,
perbaikan kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan masyarakat dan
menghindarkan pencemaran tanah oleh feces penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Aria G, 2004. Hubungan Perilaku Sehat dan Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing
yang Ditularkan Melalui Tanah di Nagari Kumanis Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.UGM.
Brooks GF dkk.
1996. Mikrobiologi Kedoktran. Edisi 20.
EGC. Hal. 670-678.
Departemen
Kesehatan RI. 2006. Profil Kesehatan
Indonesia.
Faust Ec et al.1976. Craig and Faust Clinical Parasitology.9thedition.
Philadelphia.Lea & Febiger.
Greenwood D et al. 2007. Medical Microbiology. 17th
edition. Churchill Livingstone. pp. 634-636.
Joklik WK et al. 1992. Zinsser Microbiology. 20th
edition. Appleton and Lange. pp. 1186-1202.
Markell EK et al. 1992. Medical Parasitologi. 7th edition.
W.B. Saunders Company. pp. 261-286.
Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasit Kedokteran di Tinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. EGC. Hal.
69-86.
Neva A and Brown HW. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th
edition. Prentice-Hall Intenational Inc. pp. 113-151.
Onggowaluyo JS. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi) :
Pendekatan Aspek Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC. Hal. 11-31.
Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga
University Press. Hal. 71-96.
Sumanto D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada
Anak Sekolah (Studi Kasus Kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak. Tesis.Program
Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
http://ebookbrowse.com/jtptunimus-gdl-novitakusu-6251-3-babii-pdf-d296219631 (diunduh Rabu 15 Mei 2013 pukul 19.21 wib)
(diunduh Rabu 15
Mei 2013 pukul 19.45 wib)
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/6/jtptunimus-gdl-s1-2008-atikatunna-267-1-bab1.pdf (diunduh Rabu 15 Mei 2013 pukul 20.21 wib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar