Senin, 10 Juni 2013

MAKALAH PARASITOLOGI “HUBUNGAN PARASIT HELMINTHS TERHADAP KESEJAHTERAAN MANUSIA



 BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit yang di sebabkan oleh cacing sering kali dianggap masalah biasa,  Sebenarnya hal ini sangat beralasan karena pada umumnya penyakit ini bersifat kronis sehingga secara klinis tidak tampak begitu nyata. Karakteristik fisik wilayah tropik seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya (Edmundson 1992).
Penyakit kecacingan masih sering dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing ini tergolong penyakit yang kurang mendapat perhatian, sebab masih sering dianggap sebagai penyakit yang tidak menimbulkan wabah maupun kematian. Walaupun demikian, penyakit kecacingan sebenarnya cukup membuat penderitanya mengalami kerugian, sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubuh penderita akan menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan, sedang sampai berat yang ditunjukkan sebagai manifestasi klinis diantaranya berkurangnya nafsu makan, rasa tidak enak di perut, gatal – gatal, alergi, anemia, kekurangan gizi berupa kalori dan protein, pneumonitis, syndrome Loeffler dan dapat menimbulkan kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh serta menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak.
Penyakit yang disebabkan cacing atau biasa disebut dengan helminthiasis merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi terutama didaerah tropis. Keberadaan penyakit ini berkaitan dengan faktor cuaca, tingkat sanitasi lingkungan dan sosio ekonomi masyarakat. Cacing memerlukan suhu dan kelembaban udara tertentu untuk hidup dan berkembang biak. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi sayuran mentah, daging atau ikan yang dimasak setengah matang merupakan salah satu cara penularan secara langsung. Bila dalam bahan makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacing dapat menjadi lengkap, dan terjadilah infeksi dalam tubuh manusia. Berbeda dengan infeksi bakteri, virus dan mikroorganisme lainnya, cacing dewasa tidak bertambah banyak didalam tubuh manusia. Penyebaran penyakit ini pun dapat terjadi melalui perantara serangga seperti nyamuk dan lalat penghisap darah yang dapat menyebarkan telur cacing dari feses penderita cacingan. Di samping itu, kebiasaaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman dapat meningkatkan penyebaran telur cacing, karena dapat mengkontaminasi tanah, air rumah tangga dan tanaman pangan tertentu. Cacing yang bersifat parasit pada manusia terbagi atas dua golongan besar yaitu cacing bulat (nemathelminthes) dan cacing pipih (platyhelmintes). Golongan Nemathelminthes terbagi lagi menjadi kelas nematode, sedangkan golongan Platyhelminthes terbagi menjadi kelas trematoda dan cestoda.
Salah satu penyakit kecacingan yang masih banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth yaitu golongan nematoda usus  yang dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah.  Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk non infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Menurut Faust , Soil-Transmitted helminth adalah nematoda usus yang perkembangan embrionya pada tanah. (Faust EC et al,1976)
Kondisi tanah yang lembab dengan bertumpuknya banyak sampah merupakan habitat yang tepat untuk nematoda hidup dan berkembang biak. Tekstur tanah yang sangat bervariasi yang terdiri dari tanah pasir, debu dan tanah liat sangat memungkinkan hidup dan berkembang biak telur – telur cacing Soil-Transmitted Helminths hingga menjadi cacing yang infektif menularkan penyakit kecacingan. (Cahyo Wu, 2009)

 
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Etiologi
Penyakit kecacingan pada usus manusia sering disebut sebagai cacing usus, sebagian besar penularan cacing usus ini terjadi melalui tanah. Oleh karena itu digolongkan dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil-Transmitted Helminths.
Soil-Transmitted Helminths adalah cacing golongan nematoda yang dalam siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif memerlukan tanah dengan kondisi tertentu (Safar, R, 2010).
 Yang termasuk dalam kelompok Soil-Transmitted Helminth adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).
Cacing parasit tersebut menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit kecacingan. Infeksi cacing Soil-Transmitted Helminths merupakan infeksi kronik yang diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi dan paling banyak menyerang anak balita dan anak usia sekolah dasar. Infeksi cacing ini ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing. Pencemaran telur cacing itu terjadi karena pencemaran tanah oleh tinja, ini memudahkan transmisi telur dari tanah kepada manusia melalui tangan yang tercemar oleh telur cacing parasit, kemudian masuk ke mulut bersama makanan.
Biasanya tanah yang cocok untuk perkembang biakan atau daur hidup cacing Soil-Transmitted Helminths adalah tanah yang lembab dengan suhu lembab dan hangat, hal ini bertujuan untuk menetaskan telur (Gracia,Lynne S. dan David A. Bruckner, 1996). Selain suhu, kondisi cuaca dan iklim sangat mempengaruhi kondisi tanah untuk perkembang biakan cacing Soil Transmitted Helminths.


B.     Epidemiologi
      Infeksi oleh nematoda usus biasanya berkaitan dengan buruknya hygiene. Infeksi ini selalu ada terutama di daerah tropis dan subtropis. Serangan cacing dalam jumlah sedikit biasanya asimptomatis tetapi infeksi yang berat dapat menimbulkan masalah yang serius terutama pada anak – anak yang biasanya diikuti oleh terhambatnya perkembangan anak. ( Greenwood D, 2007 ; Brooks GF,2006)
      Ascariasis merupakan penyakit endemic di daerah tropis dan subtropis tetapi secara sporadis dapat terjadi di seluruh dunia. Penduduk pedesaan dengan kondisi sanitasi yang buruk mempunyai resiko yang tinggi terhadap infeksi cacing ini. Orang dewasa  biasa terinfeksi karena makan sayur mentah yang terkontaminasi oleh telur cacing ini baik dari feces penderita maupun dari tanah yang tercemar feces penderita, sedangkan pada anak – anak biasa terinfeksi dengan jalan tangan ke mulut ( hand to mouth) atau karena kebiasaan mengulum benda – benda atau mainan yang terkontaminasi telur cacing ini. Pemakaian sepatu dan sistim pembuangan feces yang memenuhi syarat menurunkan tingkat infeksi cacing tambang. ( Joklik WK,1992)
      Di Indonesia angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia  pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar 33,3% ; 33,0% ; 46,8% ; 28,4% dan 32,6%, sedangkan prevalensi infeksi cacing tambang secara berturutan pada tahun 2002 – 2006 sebesar 2,4% ; 0,6% ; 5,1% ; 1,6% dan 1,0%. ( Depkes RI, 2006)
      Kejadian infeksi kecacingan pada anak berhubungan negatif signifikan dengan perilaku sehat, dengan demikian berarti bahwa pengertian berperilaku hidup sehat akan menurunkan insidensi kecacingan pada anak.(Aria G, 2004)
      Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang penting baik di daerah iklim dingin maupun iklim panas, tetapi cacing ini lebih umum ditemukan di daerah beriklim panas dengan kelembaban yang tinggi dan paling banyak ditemukan di tempat-tempat dengan sanitasi yang buruk. Ascariasis ditemukan pada semua umur, tetapi lebih sering ditemukan pada anak-anak usia 5 samapi 10 tahun. Di Indonesia kejadian ascariasis frekuensinya antara 60 % sampai 80 %. (Onggowaluyo JS, 2001)
      Insiden kecacingan akibat cacing tambang cukup tinggi di Indonesia, kasus penyakit ini banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi cacing tambang ini berhubungan erat dengan kebiasaan Buang Air Besar di tanah. Kondisi tanah yang gembur , berpasir dan temperature sekitar 23 - 32°C merupakan tempat yang paling sesuai untuk pertumbuhan larvanya. (Onggowaluyo JS, 2001)
      Daerah penyebaran dari Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris lumbricoides, sehingga kedua cacing ini sering di temukan bersama-sama dalam 1 hospes. Di Indonesia, Frekuensinya tinggi, terutama di daearah-daerah pedesaan, antara 30% - 90%. Terutama ditemukan pada anak-anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trichuriasis adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita, yang akan berkembang dengan baik pada tanah liat, lembab dan teduh. (Onggowaluyo JS, 2001)

C.    Soil-transmitted Helminths
Soil-transmitted helminths merupakan kelompok parasit cacing nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak dengan larva yang berkembang dengan cepat pada tanah yang hangat dan basah di negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Bentuk dewasa soil-transmitted helminths dapat hidup selama bertahun-tahun di saluran percernaan manusia. Lebih dari dua milyar penduduk dunia terinfeksi oleh paling sedikit satu spesies cacing tersebut, terutama yang disebabkan oleh A. lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang (WHO, 2005; WHO, 2006).
Soil-transmitted helminths merupakan salah satu penyebab utama kemunduran pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual yang berdampak terhadap pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat yang sering terabaikan. Kurangnya perhatian para tenaga kesehatan dan masyarakat dunia terhadap kondisi ini disebabkan (Chan, 1997; WHO, 2006):
1.      Kebanyakan penduduk yang terinfeksi oleh Soil-transmited helmiths berasal dari negara-negara miskin.
2.      Infeksi parasit ini menyebabkan gangguan kesehatan kronis dengan manifestasi klinis yang tidak nyata.
3.      Pengukuran efek yang timbul akibat infeksi soil-transmitted helminths terhadap pertumbuhan ekonomi dan pendidikan sulit dilakukan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi soil-transmitted helminths memiliki dampak yang sangat besar terhadap tingkat kehadiran dan prestasi sekolah serta produktivitas ekonomi dimasa mendatang (Miguel and Kremer, 2003). World Health Assembly berusaha mengantisipasi hal tersebut dengan membuat sebuah resolusi bagi negara-negara anggota dalam upaya mengontrol angka kesakitan akibat infeksi soil tramitted helminths melalui pemberian obat antelmintik dalam skala besar kepada anak usia sekolah dasar di negara-negara miskin ( Horton, 2003).

D.    Patogenesa dan manifestasi klinis
1.      Ascariasis
Ascariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh A. lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya melalui tanah. Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang lembab, dengan angka prevalensi kadangkala mencapai di atas 50%. Angka prevalensi dan intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak usia 5-15 tahun (Ditjen PP&PL Dep.Kes. RI, 2005; Bethony dkk, 2006).
Gejala klinik pada ascariasis dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun larva, cacing dewasa tinggal diantara lipatan mukosa usus halus dan dapat menimbulkan iritasi sehingga dapat menimbulkan rasa tidak enak di perut, mual serta sakit perut yang tidak nyata. Kadang-kadang cacing dewasa terbawa kearah mulut karena regurgitasi dan dimuntahkan, sehingga keluar melalui mulut atau hidung. Atau dapat masuk ke tuba eustachii. Dinding usus dapat ditembus oleh cacing dewasa sehingga menyebabkan peritonitis. Cacing dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sumbatan pada lumen usus serta toxin yang dihasilkannya akan menimbulkan manifestasi keracunan misalnya, oedema muka, uticaria dan nafsu makan menurun. Migrasi larva ke paru  dapat menimbulkan eosinofili dan alergi berupa urticaria, gejala infiltrasi paru, sembab pada bibir serta sindroma Lofflers. Larva yang migrasi ke organ lain dapat menimbulkan endophthalmitis, meningitis dan encephalitis. Pada anak-anak sering kali terlihat gejala perut buncit, pucat , lesu, rambut jarang dan berwarna merah serta kurus akibat defisiensi gizi dan anemia. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994)

             
Gambar Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
(Gandahusada, S, 2006)
Siklus hidup cacing ini membutuhkan waktu empat hingga delapan minggu untuk menjadi dewasa. Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing yang telah berkembang (telur berembrio). Telur yang telah berkembang tadi menetas menjadi larva diusus halus. Selanjutnya larva bergerak menembus pembuluh darah dan limfe usus mengikuti aliran darah ke hati atau ductus thoracicus menuju ke jantung. Kemudian larva dipompa ke paru. Larva di paru mencapai alveoli dan tinggal disitu selama 10 hari untuk berkembang lebih lanjut. Bila larva telah berukuran 1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke saluran nafas, ke epiglotis dan kemudian esofagus, lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi dewasa. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan; paling lama bisa lebih dari 20 bulan, cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000 telur sehari. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan hidup di tanah selama 17 bulan sampai beberapa tahun (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk , 2000).
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh dua stadium sebagai berikut (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk, 2000):
a.       Kelainan oleh larva, yaitu berupa efek larva yang bermigrasi di paru (manifestasi respiratorik). Gejala yang timbul berupa demam, dyspneu, batuk, malaise bahkan pneumonia. Gejala ini terjadi 4-16 hari setelah infeksi. Cyanosis dan tachycardia dapat ditemukan pada tahap akhir infeksi. Semua gejala ini dinamakan Ascaris pneumonia atau Syndroma loffler. Kelainan ini akan menghilang dalam waktu ± 1 bulan.
b.      Kelainan oleh cacing dewasa, berupa efek mekanis yang jika jumlahnya cukup banyak, akan terbentuk bolus dan menyebabkan obstruksi parsial atau total. Migrasi yang menyimpang dapat menyebabkan berbagai efek patologi, tergantung kepada tempat akhir migrasinya. Infeksi Ascaris lumbricoides dapat menyebabkan gangguan absorbsi beberapa zat gizi; seperti karbohidrat dan protein, dan cacing ini dapat memetabolisme vitamin A, sehingga menyebabkan kekurangan gizi, defisiensi vitamin A dan anemia ringan.
2.      Trichuriasis
Trichuriasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh T. trichiura (cacing cambuk) yang hidup di usus besar manusia khususnya caecum yang penularannya melalui tanah. Cacing ini tersebar di seluruh dunia, prevalensinya paling tinggi berada di daerah panas dan lembab seperti di negara tropis dan juga di daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk, cacing ini jarang dijumpai di daerah yang gersang, sangat panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan penyebab infeksi cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis (; Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999)
Trichuriasis paling sering menyerang anak usia 1 – 5 tahun, infeksi ringan biasanya tanpa gejala. Pada infeksi berat, cacing tersebar ke seluruh colon dan rectum kadang-kadang terlihat pada mucosa rectum  yang prolaps. Infeksi kronis dan sangat berat menunjukkan gejala-gejala anemia berat, Hb rendah sekali dapat mencapai 3 gr%, karena seekor cacing setiap hari menghisap darah 0,005 cc, diare dengan feses sedikit dan mengandung sedikit darah, sakit perut, mual, muntah serta berat badan menurun, kadang-kadang disertai prolapsus recti. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994)

           
Gambar Siklus Hidup Trichuris trichuira
(Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

Siklus hidup cacing ini langsung dan menjadi dewasa pada satu inang. Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal manusia dan dapat hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Cacing betina diperkirakan memproduksi lebih dari 1000 telur perhari. Telur yang keluar melalui tinja menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (lebih kurang tiga minggu) di tanah yang hangat dan lembab. Manusia mendapat infeksi karena menelan telur infektif dari tanah yang mengkontaminasi tangan, makanan, dan sayuran segar. Selanjutnya larva cacing tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam waktu 1-3 bulan setelah infeksi. Telur ditemukan dalam tinja setelah 70-90 hari sejak terinfeksi (Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000)
Infeksi ringan pada manusia biasanya tanpa gejala. Kelainan patologi disebabkan oleh cacing dewasa. Bila jumlah cacing cukup banyak dapat menyebabkan colitis dan apendisitis akibat blokade lumen appendics. Infeksi yang berat menyebabkan nyeri perut, tenesmus, diare berisi darah dan lendir (disentri), anemia, prolapsus rektum, dan hipoproteinemia. Pada anak, cacing ini dapat menyebabkan jari tabuh (clubbing fingers) akibat anemia dan gangguan pertumbuhan (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000).
3.      Infeksi cacing tambang
Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh infeksi parasit cacing nematoda N. americanus dan Ancylostoma duodenale yang penularannya melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Cacing ini merupakan penyebab infeksi kronis yang paling sering, dengan jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan mencapai seperempat dari populasi penduduk dunia di negara tropis dan subtropis. Jumlah penderita infeksi cacing tambang paling banyak dijumpai di Asia, kemudian diikuti negara-negara sub–Sahara Afrika. N. americanus merupakan cacing tambang yang paling banyak dijumpai di berbagai belahan dunia, sedangkan A. duodenale penyebarannya secara geografis sangat terbatas (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000;)
Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada infeksi oleh Necator americanus. (Joklik WK, 1992 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009 ; Neva A and Brown HW, 1994)

          

Gambar Siklus Hidup cacing tambang
(Gandahusada, S., Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum dan bagian atas ileum. Cacing betina N. americanus dapat memproduksi 10.000 telur sehari dan A. duodenale memproduksi 20.000 telur sehari. Dalam kondisi yang memungkinkan; tanah berpasir yang hangat dan lembab, telur di tanah tumbuh dan berkembang menjadi embrio dalam 24-48 jam pada suhu 23 sampai 30 °C. Penularan terjadi karena penetrasi larva filariform melalui kulit atau pada Ancylostoma duodenale lebih sering tertular karena tertelan larva filariform dari pada penetrasi larva tersebut melalui kulit. Selanjutnya cacing ini tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa, kawin dan mulai bertelur empat sampai tujuh minggu setelah terinfeksi. Larva filariform A. duodenale yang tertelan tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa tanpa migrasi paru. Cacing dewasa dapat hidup selama satu tahun (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000)
Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat, kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh tiga fase sebagai berikut (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984).
a.       Fase cutaneus, yaitu cutaneus larva migrans, berupa efek larva yang menembus kulit. Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground itch. Timbul rasa nyeri dan gatal pada tempat penetrasi.
b.      Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering, asma yang disertai dengan wheezing dan demam.
c.       Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi usus halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang berdarah dan berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh cacing tersebut di mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu ekor cacing adalah 0,03 mL pada infeksi Necator americanus dan 0,15 mL pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap harinya adalah 2 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Necator americanus dan 5 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Ancylostoma duodenale, sehingga kadar hemoglobin dapat turun mencapai level 5 gr/dl atau lebih rendah. Pada anak, infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan fisik dan mental.
4.      Infeksi oleh Strongyloides stercoralis
Cacing ini disebut juga dengan cacing benang. Predileksi cacing dewasanya pada mucosa usus halus terutama duodenum dan jejunum manusia. Cacing dewasa betina mempunyai ukuran 2 x 0,04 mm, tidak berwarna dan berbentuk seperti benang halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus yang panjang.

         
Gambar Siklus Hidup Cacing Strongyloides stercoralis
(Gandahusada, S., Ilahude, Wita Pribadi, 2006 )
Telur cacing ini berukuran 54 x 32 mikron, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang mempunyai ukuran 200 – 250 mikron. Kemudian larva rabditiform menembus sel epithel dan masuk ke dalam lumen usus.  Terdapat 3 kemungkinan yang dapat terjadi selanjutnya yaitu :
Pertama yang disebut sebagai autoinfeksi yaitu   larva rabditiform dalam usus halus berubah menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus mukosa usus masuk ke dalam peredaran darah vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, menembus kapiler menuju alveoli, kemudian migrasi ke bronchi, larynx, pharynx dan tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa.  Kemungkinan kedua, yaitu larva rabditiform keluar bersama feses penderita. Di tanah, larva rabditiform setelah 2-3 hari berubah menjadi larva filariform yang merupakan larva infektif. Manusia tertular akibat masuknya larva infektif melalui kulit, masuk ke dalam peredaran vena menuju jantung kanan sampai ke paru-paru, kemudian menembus kapiler menuju alveoli, dan mengalami migrasi ke bronchus, larynx, pharynx , tertelan masuk oesophagus menuju usus halus dan menjadi dewasa. Kemungkinan ke tiga yaitu larva rabditiform keluar bersama feses penderita, ditanah berubah menjadi larva filariform kemudian berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina yang hidup bebas. Setelah kopulasi, cacing betina yang hidup bebas menghasilkan telur yang kemudian menetas menjadi larva rabditiform dan selanjutnya menjadi larva filariform yang infektif. Kemudian larva filariform akan menembus kulit hospes dan sesudah melalui tahap migrasi paru larva akan menjadi dewasa dalam usus halus. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Markell et al, 1992; Soedarto, 2008).
Strongylidiasis ringan biasanya tidak menimbulkan gejala, pada infeksi sedang cacing dewasa betina yang bersarang dalam mukosa duodenum menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah epigastrium, disertai rasa mual , muntah, diare bergantian dengan konstipasi. Pada infeksi berat dan kronis mengakibatkan berat badan turun, anemi, disentri menahun serta demam ringan yang disebabkan infeksi bakteri sekunder pada lesi usus. Kematian dapat terjadi akibat bersarangnya cacing betina di hampir seluruh epithel usus, meliputi daerah lambung sampai ke daerah colon bagian distal yang disertai infeksi sekunder bakteri. (Natadisastra D dan Agoes R, 2009)
Autoinfeksi mungkin merupakan mekanisme dari terjadinya infeksi jangka panjang yang menetap dan bertahun-tahun. Parasit dan hospesnyan berada dalam status keseimbangan sehingga tidak terjadi kerusakan yang berarti. Jika oleh karena sesuatu hal, keseimbangan ini terganggu dan keadaan imunitas penderita menurun, maka infeksinya akan meluas dan meningkatkan produksi larva dan larvanya dapat ditemukan pada setiap jaringan tubuh. Keadaan ini disebut dengan sindroma hiperinfeksi. (Gracia, 1977)

E.     Infeksi cacing cestoda dan trematoda
1.      Infeksi cacing cestoda
Cacing pita (Taenia) memiliki 6 jenis spesies yaitu Taenia crassiceps, Taenia pisiformis, Taenia saginata, Taenia solium, Taenia asiatica, Taenia taeniaeformis. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata  penting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau. Yang berarti cacing pita hidup dalam tubuh manusia. Taenia dapat menimbulkan penyakit pada tubuh manusia yang dikenal dengan istilah taeniasis dan sistiserkosis. Penyakit ini disebabkan oleh spesies Taenia yaitu Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica.
Perkembangbiakan cacing pita (Taenia) yang terdapat didalam tubuh manusia adalah cacing pita (Taenia) dewasa  merupakan induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitive (manusia) maupun inang antara (sapid dan babi) menelan telur maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio (onchosphere)yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfa berangsur-angsur berkembang menjadi sistikorsis yang infrktif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esophagus, leher dan otot antar tulang rusuk.
Infeksi Taenia dikenal dengan istilah Taeniasis dan Sistiserkosis. Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies  Taenia solium atau dikenal dengan cacing pita babi, sementara Taenia saginata dikenal dengan nama cacing pita sapi. Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita babi). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistikorsis pada manusia. Sedangkan kemampuan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistikorsis belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.
Manusia terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau daging babi yang setengah matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia. Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang mengandung telur Taenia solium. Hal ini juga dapat terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu penderita melalu pengeluaran dan penelanan kembali makanan. Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:
a.       Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh (proglotoid) cacing pita.
b.      Hewan, terutama babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita (sistisekus).
c.       Makanan, minuman dan lingkungan yang tercemar oleh telur cacing pita.
Penyebaran cacing pita diIndonesia tertinggi adalah yang terjadi di bagian Kabupaten Jayawijaya Papua. Ditemuka 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium atau sistiserkosis selulosaedari babi. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) diantaranya adalah pendeita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsy. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsy akibat adanya sistiserkosis pada otak.
Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2%-21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%. Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsy di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi taeniasis Taenia asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus Taenia asiatica di provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang.
Gejala klinis yang disebabkan oleh penyakit taeniasia dan sistiserkosis adalah : Pengeluaran segmen tubuh cacing dalam fesesnya, gatal-gatal pada anus, mual, pusing, peningkatan nafsu makan, sakit kepala, diare, lemah, merasa lapar, sembelit, penurunan berat badan, rasa tidak enak pada lambung, letih, muntah, tidak ada selera makan saat lapar, pegal pada otot, nyeri diperut, mengantuk, serta kejang-kejang, gelisah, gatal-gatal pada kulit dan gangguan pernapasan (masing-masing < 1%).
Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh. Manusia dapat terjangkit satu sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda-beda. Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis), mata, otot dan lapisan bawah kulit.
Neurosistiserkosis adalah infeksi sistem saraf pusat akibat sistiserkus dari larva Taenia solium. Ini adalah dampak Tenia yang paling berbahaya yang dapat menimbulkan kematian. Dampak ini merupakan faktor resiko penyebab stroke baik pada manusia muda maupun setengah baya, epilepsy dan kelainan pad atengkorak. Sistiserkosis merupakam penyebab 1% kematian pada rumah sakit umum di Mexico City dan penyebab 25% tumor dalam otak.
Kesimpulannya adalah cacing pita (Taenia) dapat hidup didalam tubuh manusia dan hewan. Manusia dan hewan dapat terjangkit cacing pita melalui apa saja, dari makanan atau lingkungan. Cacing pita yang berada dalam tubuh dapat menimbulkan penyakit dari yang sederhana sampai yang mematikan. Maka diperlukan pengendalian dalam pencegahan cacing pita berada ditubuh kita. Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui diagnose dini dan pengobatan terhadap penderita yang terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu Atabrin, Librax, Niclosamide dan Praziquantel. Sedangkan untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazole dan Dexamethasone. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia maupun hewan diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama babi didaerah endemis taeniasis atau sistiserkosis serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi manusia.
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup Taenia karena lingkungan yang kotor menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam fese ke lingkungan menjadi sumber penyebaran taeniasis atau sistiserkosis. Faktor resiko utama transmisi telut Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi manusia di dekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan babi dekat dengan manusia. Hal yang sama juga berlaku pada transmisi telur Taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat-tempat lembap sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas.
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat dilakukan melaui peningkatan sarana sanitasi, pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi, pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. Pembangunan sarana sanitasi, misalnya kakus dan septic tank, serta penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging yang terkotaminasi dapat dilakukan melalui pemotongan ternak dirumah potong hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter hewan.
2.      Infeksi cacing Trematoda
Trematoda adalah cacing yang secara morfologi berbentuk pipih seperti daun. Pada umumnya cacing ini bersifat hermaprodit, kecuali genus
Schistosoma. Pada dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase kehidupan dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk perkembangannya. Fase daur hidup tersebut adalah sebagai berikut:
Telur---meracidium---sporocyst---redia---cercaria—metacercaria---cacing dewasa.
Dimana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies cacing trematoda.
Menurut lokasi berparasitnya cacing trematoda dikelompokkan sbagai berikut:
·         Trematoda pembuluh darah: Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. Japonicum
·         Trematoda paru: Paragonimus westermani
·         Trematoda usus: Fasciolopsis buski, Echinostoma revolutum, E. Ilocanum
·         Trematoda hati: Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, F. gigantica.
a.       Schistosomiasis (Schistosoma haematobium, S. Mansoni, S. Japonicum)
Efek patologi dari cacing ini sangat bergantung pada spesiesnya. Progresifitas dari penyakit dari ke 3 cacing ini ada 3 fase yaitu:
-        Fase awal, selama 3-4 minggu setelah infeksi yang menunjukkan gejala demam, toksik dan alergi.
-        Fase intermediate sekitar 2,5 bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi, yaitu adanya perubahan patologi pada saluran pencernaan dan saluran kencing dan waktu telur cacing keluar tubuh.
-        Fase terakhir, adanya komplikasi gastro-intestinal, renal dan sistem lain, sering tak ada telur cacing yang keluar tubuh.

Proses permulaan dari fase ketiga spesies cacing adalah sama yaitu: Demam yang berfluktuasi, kulit kering, sakit perut, bronchitis, pembesaran hati dan limpa serta diare.
Ø  Kerusakan yang nyata disebabkan oleh telur cacing, dimana S. mansoni , usus besar lebih terpengaruh. Telur terdapat dalam venula dan submukosa yang bertindak sebagai benda asing, sehingga menyebabkan reaksi radang dengan laukosit dan infiltrasi fibroblast. Hal tersebut menimbulkan nodule disebut pseudotuberkel, karena nodule yang disebabkan reaksi jaringan. Abses kecil akan terbentuk sehingga menyebabkan nekrosis dan ulserasi. Sering ditemuai adanya sel eosinofil dalam jumlah besar dalam darah dan diikuti penurunan jumlah sel radang. Banyak telur terbawa kembali kedalam jaringan hati dan menumpuk dalam kapiler hati sehingga menimbulkan reaksi sel dan terbentuk nodule pseudotuberkel.
Hal tersebut menimbulkan reaksi pembentukan sel fibrotik (jaringan ikat) didalam hati dan menyebabkan sirosis hepatis dan mengakibatkan portal hipertensi. Pembengkakan limpa terjadi karena kongesti kronik dalam hati. Karena terjadinya kongesti pembuluh darah viscera mengakibatkan terjadinya ascites. Sejumlah telur cacing dapat terbawa kedalam paru-paru, sistem saraf dan organ lain sehingga menyebabkan terbentuknya pseudotuberkel di setiap lokasi tersebut.
Ø  S. japonicum menyebabkan perubahan patologi terutama di dalam intestinum dan hati, mirip dengan yang disebabkan oleh S. mansoni, tetapi lebih parah bagian yang menderita ialah usus kecil. Nodule yang dikelilingi jaringan fibrosa yang berisi telur cacing ditemukan pada jaringan serosa dan permukaan peritonium. Telur cacing S. japonicum terlihat lebih sering mencapai jaringan otak daripada dua spesies lainnya, sehingga menyebabkan gangguan saraf yaitu: koma dan paralysis (99% kasus). Schistosomiasis disebabkan oleh S. japonicum, terlihat lebih parah prognosanya dapat infausta pada infeksi yang berat dan tidak lekas diobati.
Ø  Infeksi oleh S. hematobium terlihat paling ringan dibanding dua spesies lainnya. Selama cacing dewasa tinggal didalam venula kantong kencing, gejala yang terlihat adalah adanya gangguan pada sistem urinaria saja yaitu: cystitis, hematuria dan rasa sakit pada waktu kencing. Terjadinya hematuria biasanya secara gradual dan menjadi parah bila penyakit berkembang dengan adanya ulserasi pada dinding kantong kencing. Rasa sakit terjadi akhir urinasi. Perubahan patologi dinding kantong kencing disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap telur sehingga membentuk pseudotuberkel, infiltrasi sel fibrotik, penebalan lapisan muskularis dan ulserasi.
b.      Fasciolopsis buski
Cacing dewasa hidup dalam usus halus memproduksi telur sampai 25000 butir/ekor/hari yang keluar melalui feses. Telur menetas pada sushu optimum (27-32oC) selama sekitar 7 minggu. Meracidium keluar dan masuk kedalam hospes intermedier siput yang termasuk dalam genus segmentia dan hippeutis (planorbidae) untuk membentuk sporocyst. Sporocyst berada dalam jantung dan hati siput, kemudian mengeluarkan redia induk, kemudian redia induk memproduksi redia anak. Redia berubah menadi cercaria keluar dari tubuh siput dan berenang dalam air, kemudian menempel pada tanaman/sayuran/rumput dimana cercaria berubah menjadi metacercaria. Bila tanaman tersebut dimakan/termakan manusia/babi maka cercaria menginfeksi hospes definitif.


Patologi
Perubahan patologi yang disebabkan oleh cacing ini ada tiga bentuk yaitu toksik, obstruksi dan traumatik. Terjadinya radang di daerah gigitan, menyebabkan hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga menyebabkan hambatan makanan yang lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi, haemoragik dan absces pada dinding usus. Terjadi gejala diaree kronis. Toksemia terjadi sebagai akibat dari absorpsi sekresi metabolit dari cacing, hal ini dapat mengakibatkan kematian.
c.       Paragonimus westermani
Cacing dewasa biasanya hidup di paru yang diselaputi oleh jaringan ikat dan biasanya berpasangan. Cacing tersebut juga dapat ditemukan pada organ lainnya. Fertilisasi silang dari dua cacing biasanya terjadi (hermaprodit). Telurnya sering terjebak dalam jaringan sehingga tidak dapat meninggalkan paru, tetapi bila dapat keluar kesaluran udara paru akan bergerak ke silia epitelium. Sampai di pharynx, kemudian tertelan dan mengikuti saluran pencernaan dan keluar melalui feses. Larva dalam telur memerlukan waktu sekitar 16 hari sampai beberapa minggu sebelum berkembang menjadi miracidium.
Telur kemudian menertas dan miracidium harus menemukan hospes intermedier ke 1, siput Thieridae supaya tetap hidup. Didalam tubuh siput miracidium cepat membentuk sporocyst yang kemudian memproduksi rediae yang kemudian berkembang menjadi cercariae, dimana ceracaria ini berbentuk micrococcus. Setelah keluar dari siput cercariae menjadi aktif dan dapat merambat batuan dan masuk kedalam kepiting (crab) dan Crayfish, dan membentuk cysta dalam viscera atau muskulus hewan tersebut (hospes intermedier ke 2). Hospes intermedier ke 2 ini di Taiwan adalah kepiting yang termasuk spesies Eriocheir japonicus. Dapat juga terjadi infeksi bila krustasea ini langsung memakan siput yang terinfeksi.
Cercaria kemudian membentuk metacercaria yang menempel terutama pada filamen insang dari krustasea tersebut. Bilamana hospes definitif memakan kepiting (terutama bila dimakan mentah/tidak matang), maka metacercaria tertelan dan menempel pada dinding abdomen. Beberapa hari kemudian masuk kedalam kolon dan penetrasi ke diafragma dan menuju pleura yang kemudian masuk ke broncheol paru. Cacing kemudian menjadi dewasa dalam waktu 8-12 minggu. Larva migran mungkin dapat berlokasi dalam otak, mesenterium, pleura atau kulit.
Patologi
Pada fase awal invasi tidak memperlihatkan gejala patologik. Pada jaringan paru atau jaringan ektopik lainnya, cacing akan merangsang terbentuknya jaringan ikat dan membentuk kapsul yang berwarna kecoklatan. Kapsul tersebut sering membentuk ulser dan secara perlahan dapat sembuh. Telur cacing di dalam jaringan akan merupakan pusat terbentuknya pseudotuberkel.
Cacing dalam saraf tulang belakang (spinal cord) akan dapat menyebabkan paralysis baik total maupun sebagian. Kasus fatal terjadi bila Paragonimus berada dalam jantung. Kasus serebral dapat menunjukkan gejala seperti Cytisercosis. Kasus pulmonaris dapat menyebabkan gejala gangguan pernafasan yaitu sesak bila bernafas, batuk kronis, dahak/sputum becampur darah yang berwarna coklat (ada telur cacing). Kasus yang fatal sering tetrjadi.
3.      Dampak infeksi cacing pada anak
Selama ini masalah kecacingan sering tidak disadari sehingga sering diabaikan dan mengakibatkan keterlambatan pengobatan. Kecacingan memang bukanlah suatu penyakit yang sangat berbahaya, namun jangan diabaikan karena sebenarnya banyak masalah yang dapat timbul yang mempengaruhi kehidupan secara keseluruhan jika tidak diatasi dengan baik.
Banyak hal yang dapat terjadi jika seorang anak menderita kecacingan, apalagi kecacingan menahun yang tidak tertangani dengan baik, antara lain:
a.       Penurunan fungsi kognitif (kecerdasan)
b.      Kurang darah
c.       Diare menahun dengan atau tanpa tinja berdarah
d.      Gatal-gatal di sekitar anus
e.       Radang paru-paru ( sindroma Loeffler )
f.       Malnutrisi ( kurang gizi )
g.      Biduran
h.      Gangguan pertumbuhan
i.        Radang usus buntu
j.        Sumbatan usus
k.      Nyeri perut
Pada semua penderita kecacingan, yang paling sering ditemukan adalah kurang darah ( anemia ). Anemia merupakan suatu penyakit kurang darah, yang dapat mendatangkan berbagai macam gejala, misalnya pucat, lesu, lemas, tidak bergairah, kurang tenaga, dan kurang nafsu makan. Pada jangka panjang seorang anak yang menderita anemia akan terpengaruh kecerdasan dan prestasi belajarnya, akibat kurangnya konsentrasi dan daya ingat anak. Selain itu penurunan fungsi kecerdasan diduga juga secara langsung diakibatkan dilepaskannya zat yang disebut sitokin akibat peradangan usus dan juga zat yang dilepaskan oleh cacing. Tentu kita tidak menghendaki generasi muda kita terganggu intelegensianya dan juga pertumbuhan badannya.
Tingkat kejadian infeksi cacing pada anak-anak SD di Indonesia mencapai 80%. Kondisi ini dapat terjadi dimana saja baik di kota maupun di desa. Mengapa angka kejadian ini cukup tinggi? Angka kejadian infeksi cacing yang tinggi di Indonesia ternyata tidak lepas dari keadaan di Indonesia yang beriklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi, serta tanah yang subur, yang merupakan lingkungan yang sangat optimal bagi kehidupan cacing. Selain itu, juga karena rendahnya standar kebersihan lingkungan dan kebersihan diri serta minimnya tingkat ketidaktahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya kecacingan. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi juga berakibat kepada mudahnya terjadi penularan serta menyulitkan pemutusan rantai penularan yang terjadi.
Satu hal yang teramat penting namun jarang kita ketahui ternyata kecacingan dapat menimbulkan penurunan fungsi kognitif atau kecerdasan pada anak. infeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) secara langsung mengakibatkan penurunan fungsi kecerdasan pada anak-anak. (Fungsi kognitif adalah fungsi yang mengatur kegiatan mendapat pengetahuan serta usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman.)
Secara khusus perlu diperhatikan bahwa tingkat insiden infeksi cacing cambuk dalam 5 tahun terakhir di Indonesia terus meningkat dan pada beberapa tempat telah menempati peringkat teratas. Bahkan di DKI Jakarta, menurut penelitian yang dilakukan oleh salah satu yayasan di Indonesia (dimuat dalam Surat Kabar Kompas, 23 Maret 2002), tingkat insiden infeksi cacing cambuk sudah mencapai 64.7 %.

4.      Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
Sampai saat ini kejadian penyakit kecacingan akibat infeksi nematoda usus golongan Soil-Transmitted helminth masih cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor yang menunjang.
Perilaku buang air besar tidak pada jamban menyebabkan terjadinya pencemaran tanah oleh telur cacing-cacing tambang sehingga meningkatkan resiko terinfeksi terutama pada orang dewasa atau anak – anak yang tidak memakai alas kaki.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang tinggal pada lingkungan rumah dengan tanah halaman terkontaminasi telur cacing tambang memiliki resiko terinfeksi larva cacing tambang sebesar 13,0 kali lebih besar dibanding anak yang tinggal pada lingkungan rumah tanpa kontaminasi telur cacing tambang. (Sumanto D,2010)
Anak yang tinggal dalam keluarga yang memiliki kebiasaan defekasi di kebun dan tempat lain halaman rumah, beresiko terinfeksi cacing tambang 4,3 kali lebih besar dibanding anak yang tinggal dengan keluarga yang memiliki kebiasaan defekasi di jamban. (Sumanto D, 2010)
Sanitasi rumah merupakan faktor resiko kejadian infeksi cacing tambang, anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi yang buruk beresiko sebesar 3,5 kali lebih besar  terinfeksi cacing tambang dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam rumah dengan sanitasi yang baik. (Sumanto D, 2010)
Anak yang mempunyai kebiasaan tidak memakai alas kaki beresiko terinfeksi cacing tambang 3,29 kali lebih besar dibanding anak yang mempunyai kebiasan memakai alas kaki dalam aktifitasnya sehari-hari.(Sumanto D, 2010)
Anak yang mepunyai kebiasaan bermain dalam waktu yang lama di tanah, beresiko terinfeksi cacing tambang 5,2 kali lebih besar disbanding anak yang hanya sebentar bermain di tanah dalam sehari. (Sumanto D, 2010)
Faktor iklim misalnya temperatur, kelembaban, curah hujan, mungkin merupakan faktor penting prevalensi infeksi Soil-Transmitted Helminth. Tingkat pendidikan yang rendah, hygiene pribadi dan lingkungan yang buruk , sosio ekonomi yang rendah dan perilaku juga merupakan faktor lain yang berpengaruh. (Wijana DP and Sitisna P, 2000)
Di Negara kaya dan maju banyak penyakit parasit yang dapat diberantas, sebaliknya pada Negara miskin dan terbelakang memperlihatkan prevalensi parasit yang lebih tinggi. (Onggowaluyo JS,2001)
Sehingga dari kajian diatas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi oleh cacing Soil-Transmitted Helminth di Indonesia adalah :
1.      Faktor iklim : Indonesia merupakan daerah beriklim tropis dengan kelembaban yang tinggi serta suhu yang menunjang perkembangan biakan larva maupun telur cacing.
2.      Tingkat pendidikan : Penduduk Indonesia sebagian besar masih tinggal di desa-desa dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian pribadi dan kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang tempat (ditanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.
3.      Sosio-ekonomi : sebagian besar masyarakat Indonesia, berpenghasilan rendah, hal ini menyebabkan ketidak mampuan masyarakat untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan.

5.      Diagnosis Kecacingan
Cara untuk mengetahui apakah seorang anak menderita kecacingan atau tidak sebenarnya tidaklah sulit bila cacing ditemukan keluar bersama tinja. Namun tidak pada semua kasus kecacingan, cacingnya dapat ditemukan dengan mudah. Mudah tidaknya diagnosis kecacingan ditentukan oleh berat ringan kasus kecacingan yang terjadi. Pada kasus yang ringan, seringkali gambaran infeksi cacing yang terjadi tidak jelas. Pada kasus-kasus seperti ini, tentulah diperlukan pemeriksaan tambahan dengan alat bantu mikroskop, untuk mencari telur cacing yang terdapat pada tinja penderita ataupun mencari telur cacing di sekitar anus dengan menggunakan usapan anus dengan perekat. Namun, sebenarnya sebelum melakukan pemeriksaan yang lebih lanjut, kita dapat menduga terjadinya kecacingan tersebut dengan melihat hal-hal yang timbul akibat kecacingan.
Perlu waspada anak terkena infeksi cacing jika :
·         Berat badan anak tidak sesuai dengan umur
·         Anak menjadi tidak nafsu makan, lemah, lesu, pucat, tidak bergairah dan mudah lelah.
·         Anak mengeluh sulit mengerti pelajaran di sekolah.
·         Anak mengeluh gatal-gatal di sekitar anus terutama pada malam hari.



6.      Pemberantasan Kecacingan
Strategi pemberantasan kecacingan di masyarakat tergantung bagaimana Intervensi yang dilakukan pada salah satu siklus hidup parasit, akan mempengaruhi transmisi parasit tersebut. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi infeksi soil-transmitted helminths berhubungan dengan higiene dan sanitasi serta sikap masyarakat. Penggunaan obat-obat antelmintik saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan infeksi soil-transmitted helminths yang simptomatis saja, tetapi juga dipakai dalam skala besar guna mengurangi angka morbiditas pada masyarakat di daerah endemis. Banyak sekali bukti yang menunjukkankan bahwa infeksi kronis soil-transmitted helminths dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, status gizi yang buruk dan daya kognitif yang rendah pada anak (Bundy dkk, 2002).
1.      Higiene dan sanitasi
Penelitian yang dilakukan oleh Ismid, dkk (1988) dan Margono, dkk (1991) mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi soil-transmitted helminths (infeksi A. lumbricoides) pada anak dan kebersihan pribadi serta sanitasi lingkungan. Soeripto (1986) pada penelitiannya membuktikan bahwa pembinaan air bersih, jamban keluarga dan kesehatan lingkungan, sesudah pengobatan cacing secara massal pada penduduk dapat mengurangi penularan dan menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di pedesaan, terutama pada anak usia kurang dari 10 tahun.
Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh besarnya kontaminasi tanah yang terjadi. Kontaminasi tanah dengan telur cacing merupakan indikator keberhasilan program kebersihan di masyarakat (Schulz dan kroeger, 1992). Menurut O’lorcain dan Holland (2000) untuk jangka panjang, perbaikan higiene dan sanitasi merupakan cara yang tepat untuk mengurangi infeksi soil-transmitted helminths.
2.      Pengobatan
Pengobatan secara berkala dengan obat antelmintik golongan benzimidazol pada anak usia sekolah dasar dapat mengurangi dan menjaga cacing-cacing tersebut berada pada kondisi yang tidak dapat menimbulkan penyakit (Bundy dkk, 2002). Keuntungan pemberantasan kecacingan secara berkala pada kelompok anak usia sekolah meliputi :
a.       Meningkatkan cadangan besi.
b.      Meningkatkan pertumbuhan dan kondisi fisik.
c.       Meningkatkan daya kognitif dan tingkat kehadiran sekolah.
d.      Mengurangi kemungkinan terkena infeksi sekunder.
Pada anak-anak yang lebih muda, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan berdasarkan indikator nutrisi seperti mengurangi jumlah anak yang kurus, malnutrisi, perawakan yang pendek dan meningkatkan selera makan (Stephensons dkk, 1989; Stephensons dkk, 1993; Stoltzfus dkk, 1997)
Berbagai jenis obat cacing telah dikenal seperti golongan piperazin, levamisol, pirantel pamoat, oxantel-pirantel pamoat, mebendazol dan yang terakhir ini adalah albendazol. Pada prinsipnya obat cacing yang baik adalah obat yang dapat bekerja terhadap berbagai stadium cacing (yaitu telur, larva, dan dewasa), mempunyai efikasi yang baik untuk semua jenis nematoda usus dan efek samping minimal.
Pencegahan Kecacingan Dalam Keluarga
·         Mencuci tangan sebelum makan.
·         Gunakan selalu alas kaki.
·         Anjurkan pengasuh anak mencuci tangan sebelum memegang anak atau menyuapi anak.
·         Cuci sayur-mayur & buah-buahan mentah dengan air mengalir.
·         Menutup makanan agar terhindar dari lalat.
·         Hindari jajan makanan sembarangan
·         Anjurkan anggota keluarga minum obat cacing setiap 3 atau 4 bulan sekali.
·         Minumlah obat cacing secara rutin minimal 4 bulan sekali untuk seluruh keluarga
·         Pilihlah obat cacing yang dapat membunuh semua jenis cacing, terutama yang perlu diperhatikan adalah kemampuannya membasmi cacing cambuk.



BAB III
KESIMPULAN

           Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa  Hubungan Parasit Helminth dengan Kesejahteraan Manusia sangatlah erat. Masalah penyakit kecacingan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi lingkungan penderita , sosio-ekonomi penderita serta tingkat pendidikan penderita, iklim dan kebersihan diri perorangan, rumah maupun lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk yang tinggi. Pada saat musim hujan, udara yang lembab, rumah yang berlantai tanah, pengetahuan sanitasi kesehatan yang belum memadai, keadaan ekonomi yang rendah didukung oleh iklim yang sesuai akan mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing sehingga dapat menyebabkan tingginya infeksi cacing.
           Penyakit cacingan menurunkan keadaan kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein, kehilangan darah sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang menurun menyebabkan produktifitasnya dalam mencari pendapatan akan menurun pula sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan baik, akibatnya gizi yang seharusnya didapatkan dengan cukup akan menjadi berkurang. Kesejahteraan masyarakat dapat dilihat bahwa masyarakat tersebut dapat memenuhi kebutuhannya primernya yaitu sandang, papan dan pangan. Manusia yang terkena cacingan karena produktifitasnya menurun sehingga mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan primernya. Jadi, penyakit cacingan dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat yang terjangkit penyakit tersebut.
           Cara yang paling tepat untuk menanggulangi dan memberantas parasit adalah dengan cara memutus lingkaran hidup cacing, pengobatan masal secara periodik, perbaikan kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan masyarakat dan menghindarkan pencemaran tanah oleh feces penderita.


DAFTAR PUSTAKA

Aria G, 2004. Hubungan Perilaku Sehat dan Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah di Nagari Kumanis Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.UGM.
Brooks GF dkk. 1996. Mikrobiologi Kedoktran. Edisi 20. EGC. Hal. 670-678.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Profil Kesehatan Indonesia.
Faust Ec et al.1976. Craig and Faust Clinical Parasitology.9thedition. Philadelphia.Lea & Febiger.
Greenwood D et al. 2007. Medical Microbiology. 17th edition. Churchill Livingstone. pp. 634-636.
Joklik WK et al. 1992. Zinsser Microbiology. 20th edition. Appleton and Lange. pp. 1186-1202.
Markell EK et al. 1992. Medical Parasitologi. 7th edition. W.B. Saunders Company. pp. 261-286.
Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasit Kedokteran di Tinjau dari Organ Tubuh  yang Diserang. EGC. Hal. 69-86.
Neva A and Brown HW. 1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th edition. Prentice-Hall Intenational Inc. pp. 113-151.
Onggowaluyo JS. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC. Hal. 11-31.
Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. Hal. 71-96.
Sumanto D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah (Studi Kasus Kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak. Tesis.Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
(diunduh Rabu 15 Mei 2013 pukul 19.45 wib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laboratorium Parasitologi Representatif

BAB I PENDAHULUAN Parasitologi adalah adalah suatu ilmu cabang biologi yang mempelajari tentang semua organisme parasit. Dalam ...