Selasa, 18 Juni 2013

Makalah bakteri Toxoplasma gondii


BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya, suatu peristiwa timbulnya penyakit akibat makanan dapat disebabkan oleh kontaminasi yang ada pada makanan yang berupa agen biologi atau patogen (contohnya virus, bakteri, parasit, prion), agen kimiawi (contohnya senyawa toksin atau logam) atau agen fisik (contohnya pecahan kaca atau serpihan tulang. Dengan ditemukannya lebih dari 200 penyakit yang bisa ditularkan melalui makanan, patogen-patogen tersebut merupakan penyebab utamanya. Hampir semua patogen pembawa yang berasal dari makanan berukuran mikroskopis, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit lainnya.
Bakteri merupakan mikroorganisme uniseluler yang memiliki dinding sel namun tidak memiliki nukleus. Mereka memiliki bentuk, jenis dan properti yang bermacam-macam. Beberapa bakteri patogen dapat membentuk spora dan resisten terhadap panas tinggi (contohnya Clostridium botulinum, C. perfringens, Bacillus subtillus, B. cereus). Bakteri lainnya dapat memproduksi toksin yang membuat mereka resisten terhadap panas (contohnya Staphylococcus aureus).
Protozoa parasit merupakan mikroorganisme uniseluler yang tidak memiliki dinding sel yang rigid (kaku) namun memiliki nukleus yang sistematis. Protozoa tersebut lebih besar daripada bakteri. Seperti layaknya virus, protozoa tidak berkembangbiak di makanan, hanya di sel inang saja. Bentuk transmisi organisme ini disebut dengan cyst. Protozoa ini dapat bekerjasama dengan makanan dan menyebarkan penyakit melalui air, contohnya yaitu Entamoeba histolytica, Toxoplasma gondii, Giardia lamblia, Crytosporidium parvum dan Cyclospora cayatenensis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SPESIFIKASI TOXOPLASMA GONDII
Gambar :
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa dalam genus Toxoplasma dengan sifat alami dan perjalanan akut atau menahun. Toxoplasma gondii juga merupakan parasit pada manusia, kucing, anjing, ayam, babi, marmot, kambing, ternak dan merpati, dan pada manusia menimbulkan penyakit toxoplasmosis. 
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, merupakan penyakit parasit pada manusia dan juga pada hewan yang menghasilkan daging bagi konsumsi manusia. Infeksi yang disebabkan oleh T. gondii tersebar di seluruh dunia. Pada hewan berdarah panas dan mamalia lainnya termasuk manusia sebagai hospes perantara, sedangkan kucing dan berbagai jenis Felidae lainnya sebagai hospes definitif. Infeksi Toxoplasma tersebar luas dan sebagian besar berlangsung asimtomatis, meskipun penyakit ini belum digolongkan sebagai penyakit parasiter yang diutamakan pemberantasannya oleh pemerintah, tetapi beberapa penelitian telah dilakukan di beberapa tempat untuk mengetahui derajat distribusi dan prevalensinya. Indonesia sebagai negara tropik merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan parasit tersebut. Keadaan ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti sanitasi lingkungan dan banyak sumber penularan terutama kucing dan sebangsanya (Felidae). Manusia dapat terkena infeksi parasit ini dengan cara didapat (Aquired toxoplasmosis) maupun diperoleh semenjak dalam kandungan (Congenital toxoplasmosis). Diperkirakan sepertiga penduduk dunia mengalami infeksi penyakit ini.
Sebagai parasit, T. gondii ditemukan dalam segala macam sel jaringan tubuh kecuali sel darah merah. Tetapi pada umumnya parasit ini ditemukan dalam sel retikulo endotelial dan sistem syaraf pusat.
*      Kejadian Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang secara alami dapat menyerang manusia, ternak, hewan peliharaan lain seperti hewan liar, unggas dan lain-lain. Kejadian toxoplasmosis telah dilaporkan dari beberapa daerah di dunia ini yang geografiknya sangat luas. Survei terhadap kejadian ini memberi gambaran bahwa toxoplasmosis pada suatu daerah bisa sedemikian hebatnya hingga setiap hewan memperlihatkan gejala toxoplasmosis. Survei yang telah diadakan di Amerika Serikat.
Toxoplasmosis juga sering terjadi melalui jalur atau rute makanan yaitu bentuk jaringan dari parasit (kista mikroskopis terdiri dari bradyzoites) dapat ditularkan kepada manusia oleh makanan. Manusia menjadi terinfeksi karena :
Ø  Makanan setengah matang, atau daging yang terkontaminasi (terutama daging babi, domba, dan daging rusa).
Ø  Menelan makanan setengah matang, memegang daging yang terkontaminasi dan tidak mencuci tangan dengan bersih (Toxoplasma tidak dapat diserap melalui kulit utuh).
Ø  Makan makanan yang terkontaminasi oleh pisau, peralatan, talenan, atau makanan lain yang pernah kontak dengan daging mentah  yang terkontaminasi.
Pada manusia, penyakit toxoplasmosis ini sering menginfeksi melalui saluran pencernaan. Biasanya melalui perantara makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan agen penyebab penyakit toxoplasmosis ini, misalnya karena minum susu sapi segar atau makan daging yang belum matang sempurna dari hewan yang terinfeksi dengan penyakit toxoplasmosis. Penyakit ini juga sering terjadi pada sejenis ras kucing yang berbulu lebat dan warnanya indah yang biasanya disebut dengan mink. Pada kucing ras mink penyakit toxoplasmosis sering terjadi karena makanan yang diberikan biasanya berasal dari daging segar (mentah) dan sisa-sisa daging dari rumah potong hewan.

B. SEJARAH TOXOPLASMA GONDII
Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan oleh Nicole dan Manceaux tahun 1908 pada limfa dan hati hewan pengerat Ctenodactylus gundi di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil. Lebih lanjut Mello pada tahun 1908 melaporkan protozoa yang sama pada anjing di Italia, sedangkan Janku pada tahun 1923 menemukan protozoa tersebut pada penderita korioretinitis. Lalu Wolf pada tahun 1937 telah mengisolasinya dari neonatus dengan ensefalitis dan dinyatakan sebagai penyebab infeksi kongenital pada anak. Walaupun perpindahan intra-uterin secara transplasental sudah diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas ketika ditemukan daur seksualnya pacta kucing.
C. EPIDEMIOLOGI TOXOPLASMA GONDII
Toxoplasma gondii ditemukan di seluruh dunia. Infeksi terjadi, di mana ada kucing yang mengeluarkan ookista bersama tinjanya. Ookista ini adalah bentuk yang infektif dan dapat menular pacta manusia atau hewan lain. Penyebaran Toxoplasma gondii sangat luas, hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia baik pada manusia maupun pada hewan. Sekitar 30% dari penduduk Amerika Serikat positif terhadap pemeriksaan serologis, yang menunjukkan pernah terinfeksi pada suatu saat dalam masa hidupnya. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak.
Krista T. gondii dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -4°C sampai tiga minggu. Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu -15OC selama tiga hari dan pada suhu -20OC selama dua hari. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65OC selama empat sampai lima menit atau lebih maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat.
Konsumsi daging mentah atau daging yang kurang masak merupakan sumber infeksi pada manusia. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran T. gondii. Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut: kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. 
D. ETIOLOGI TOXOPLASMA GONDII
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada monocyte dan sel-sel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.
Perkembangbiakan toxoplasma terjadi dengan membelah diri menjadi 2, 4 dan seterusnya. Belum ada bukti yang jelas mengenai perkembangbiakan dengan jalan schizogoni. Pada preparat ulas dan sentuh dapat dilihat di bawah mikroskop bentuk yang oval agak panjang dengan kedua ujung lancip, hampir menyerupai bentuk merozoit dari coccidium. Jika ditemukan di antara sel-sel jaringan tubuh berbentuk bulat dengan ukuran 4 sampai 7 mikron. Inti selnya terletak di bagian ujung yang berbentuk bulat. Pada preparat segar, sporozoa ini bergerak, namun para peneliti belum ada yang berhasil memperlihatkan flagellanya.
Toxoplasma baik dalam sel monocyte, dalam sel-sel sistem reticulo endotelial, sel alat tubuh viceral maupun dalam sel-sel syaraf membelah dengan cara membelah diri menjadi  2, 4 dan seterusnya. Setelah sel yang ditempatinya penuh lalu pecah parasit-parasit akan menyebar melalui peredaran darah dan hinggap di sel-sel baru dan demikian seterusnya.
Toxoplasma gondii mudah mati karena suhu panas, kekeringan dan pembekuan. Toxoplasma gondii juga cepat mati karena pembekuan darah induk semangnya dan bila induk semangnya mati,  jasad ini pun akan ikut mati.  Toxoplasma membentuk pseudocyte dalam jaringan tubuh atau jaringan-jaringan tubuh hewan yang diserangnya secara kronis. Bentuk pseudocyte ini lebih tahan dan dapat bertindak sebagai penyebar toxoplasmosis. 
E. MORFOLOGI DAN KLASIFlKASI
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi.
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Kista tersebut mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu.
Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, karena berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian. Selain itu Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, clan Ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis, trofozoit dalam jaringan akan membelah secara lambat dan disebut bradizoit.
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat. Bentuk yang ketiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan siklus seksual atau gametogeni dan sporogoni yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing.
Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.
o   Menurut Levine (1990) klasifikasi parasit sebagai berikut :
Kingdom                     : Animalia
Sub kingdom               : Protozoa
Filum                           : Apicomplexa
Kelas                           : Sporozoasida
Sub Kelas                    : Coccidiasina
Ordo                            : Eucoccidiorida
Sub ordo                     : Eimeriorina
Famili                          : Sarcocystidae
Genus                          : Toxoplasma
Spesies                        : Toxoplasma gondii 
F. DAUR HIDUP TOXOPLASMA GONDII
Siklus hidup T. gondii memiliki dua fase. Bagian seksual dari siklus hidup hanya terjadi pada kucing, baik domestik maupun liar (keluarga Felidae), yang membuat kucing menjadi tuan rumah utama parasit. Tahap kedua, bagian aseksual dari siklus hidup, dapat terjadi di lain hewan berdarah panas, termasuk kucing, tikus, manusia, dan burung. Host dimana reproduksi aseksual terjadi disebut hospes perantara.
Hewan Pengerat adalah hospes perantara yang khas. Dalam kedua jenis host, parasit Toxoplasma menyerang sel dan membentuk ruang yang disebut vakuola. Di dalam vakuola khusus yang disebut vakuola parasitophorous, bentuk parasit bradyzoites, perlahan mereplikasi parasit.
Vakuola yang berisi kista bentuk reproduksi bradyzoites terutama dalam jaringan otot dan otak. Karena parasit berada di dalam sel, mereka aman dari sistem kekebalan inang yang tidak menanggapi kista.
Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari T. gondii. Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah menjadi banyak sehingga terbentuk skizon. Skizon matang pecah dan menghasilkan banyak merozoit (skizogoni). Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual. Merozoit masuk ke dalam sel epitel danmembentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama kotoran kucing. Di luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit (sporogoni). Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).
Resistensi Toxoplasma untuk antibiotik bervariasi, tetapi kista sangat sulit untuk diberantas sepenuhnya. Di dalam vakuola, T. Gondii itu sendiri (dengan endodyogeni) sampai pada sel yang terinfeksi parasit dan mengisi dengan semburan, melepaskan takizoit, bentuk, dan motil secara reproduksi aseksual parasit. Berbeda dengan bradyzoites, maka takizoit bebas biasanya efisien dibersihkan oleh sistem kekebalan inang, meskipun beberapa dari mereka berhasil menginfeksi sel dan bradyzoites dengan cara mempertahankan infeksi pada jaringan kista yang tertelan oleh kucing (misalnya, dengan memberi makan pada tikus yang terinfeksi).
Kista bertahan hidup melalui perut kucing dan parasit menginfeksi epitel dari usus kecil di mana mereka mengalami reproduksi seksual dan pembentukan ookista. Ookista berasal dari feses. Hewan dan manusia yang menelan ookista (misalnya, dengan makan sayuran yang tidak dicuci) atau terinfeksi jaringan kista dalam daging yang dimasak secara tidak benar. Parasit memasuki makrofag pada lapisan usus dan didistribusikan melalui aliran darah ke seluruh tubuh. 
Serupa dengan mekanisme yang digunakan di banyak virus, toksoplasma mampu mendisregulasi siklus sel inang dengan mengadakan pembelahan sel sebelum mitosis (perbatasan G2 / M). Disregulasi siklus sel inang disebabkan oleh sekresi peka panas sel yang terinfeksi sehingga mengeluarkan faktor yang menghambat siklus sel tetangga. Alasan untuk disregulasi Toxoplasma tidak diketahui, tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa infeksi adalah khusus untuk host sel-sel dalam struktur sel S-fase dan host yang berinteraksi dengan Toxoplasma sehingga tidak dapat diakses selama tahap-tahap lain dari siklus sel.
Infeksi tahap akut toksoplasma dapat tanpa gejala, tetapi sering memberikan gejala seperti flu pada tahap akut awal, dan dapat menjadi flu yang fatal (kasus sangat jarang terjadi) lalu tahap akut mereda dalam beberapa hari ke bulan, yang mengarah ke tahap laten. Infeksi laten biasanya tanpa gejala, namun dalam kasus pasien immunocompromised (seperti mereka yang terinfeksi HIV atau penerima transplantasi pada terapi imunosupresif), toksoplasmosis dapat berkembang.
Manifestasi yang paling menonjol dari toksoplasmosis pada pasien immunocompromised adalah ensefalitis toksoplasma, yang dapat mematikan. Jika infeksi T. gondii terjadi untuk pertama kali selama kehamilan, misalkan pada kotoran kucing yang terinfeksi T. gondii, parasit dapat melewati plasenta, mungkin menyebabkan hidrosefalus atau mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis dan kemungkinan bisa terjadi aborsi spontan (keguguran) atau kematian intrauterin.
Gambar Daur Hidup :
G. CARA PENULARAN
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara yaitu makan daging mentah atau kurang masak yang mengandung kista T. gondii, ternakan atau tertelan bentuk ookista dari kotoran kucing, misalnya bersama buah-buahan dan sayur-sayuran yang terkontaminasi. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii. Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat laboratoriurn lain yang terkontaminasi oleh T. Gondii serta infeksi kongenital yang terjadi intra uterin melalui plasenta.
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, dimana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal. 
H. GEJALA
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya, toksoplasmosis dapat dikelompokkan menjadi : Toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan Toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain.
Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.
Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala. Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjer getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip kelainan kulit, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia interstisial.
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem syaraf penderita.
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital.
Akibat kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata.
I. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi T. gondii pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan manifestasi penyakit dari tingkat ringan, sedang sampai berat, tergantung kepada derajat imunodefisiensinya. Menurut Gandahusada dkk.,(1992), pada penderita imunodefisiensi, infeksi T. gondii menjadi nyata, misalnya pada penderita karsinoma, leukemia atau penyakit lain yang diberi pengobatan kortikosteroid dosis tinggi atau radiasi. Gejala yang timbul biasanya demam tinggi, disertai gejala susunan syaraf pusat karena adanya ensefalitis difus. Gejala klinis yang berat ini mungkin disebabkan oleh eksaserbasi akut dari infeksi yang terjadi sebelumnya atau akibat infeksi baru yang menunjukkan gejala klinis yang dramati karena adanya imuno-defisiensi. Pada penderita AIDS, infeksi T. gondii sering menyebabkan ensefalitis dan kematian. Sebagian besar penderita AIDS dengan ensefalitis akibat T. gondii tidak menunjukkan pembentukan antibodi dalam serum. 
J. PENCEGAHAN
Kucing merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta-juta ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka terjadinya infeksi pada kucing dapat dicegah, yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung. Bila kucing diberikan monensin 200 mg/kg melalui makanannya, maka kucing tersebut tidak akan mengeluarkan ookista bersama tinjanya, tetapi ini hanya dapat digunakan untuk kucing peliharaan. Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70oC yang disiramkan pada tinja kucing
Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani sebaiknya mencuci tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Sayur mayur yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran. Makanan yang matang harus ditutup rapat supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut.
Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66°C atau mengasap dan sampai matang sebelum dimakan. Bagi ibu yang memasak, jangan mencicipi hidangan daging yang belum matang. Setelah memegang daging mentah (tukang jagal, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan dengan sabun sampai bersih. Yang paling penting dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital karena anak yang lahir dapat menyebabkan cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit toxoplasmosis merupakan penyakit kosmopolitan dengan frekuensi tinggi di berbagai negara dan juga di Indonesia karena gejala klinisnya ringan maka sering kali luput dari pengamatan dokter. Padahal akibat yang ditimbulkan bisa memberikan beban berat bagi masyarakat seperti abortus, lahir mati maupun cacat kongenital. Diagnosis secara laboratoris cukup mudah yaitu dengan memeriksa antibodi kelas IgG dan IgM terhadap Toxoplasma gondii akan dapat diketahui status penyakit penderita. Dianjurkan untuk memeriksakan diri secara berkala pada wanita hamil trimester pertama akan kemungkinan terinfeksi dengan toxoplasmosis.
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler yang dapat menyebabkan penyakit toxoplasmosis konginetal dan toksoplasmosis akuisita. Hospes Definitif T. gondii adalah kucing dan binatang sejenisnya (Felidae). Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung. 
B.  SARAN
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penulisan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi. Demikian penulis ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ir. Indra Chahaya S., M.Si , 2003 , Epidemiologi “Toxoplasma gondii” . Fakultas   Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dharmana, Edi , 2007 , Toxoplasma gondii, Musuh Dalam Selimut : Semarang .     Kakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Blader, Ira J. , 2009 , Communication between Toxoplasma gondii and its host:     impact on parasite growth, development, immune evasion, and virulence :          Okhlahoma . University of Okhlahoma Health Sciences Center.
Schmidt, Ronald H. , 2003 , General Overview of the Causative Agents of            Foodborne Illness : Florida . University of Florida

Senin, 17 Juni 2013

Kwashiorkor



BAB I
PENDAHULUAN


Pada beberapa bagian dunia terjadi peningkatan ketidakseimbangan tingkat pertumbuhan penduduk dengan tingkat produksi pangan, terutama dibelahan bumi bagian selatan. Setiap waktu, kelaparan merupakan endemik di beberapa tempat di bumi ini, dan diperburuk lagi oleh tahun-tahun panen yang gagal dan oleh peperangan. Diperkirakan ada 500 juta orang yang hampir mati kelaparan dan 12.000 orang yang setiap harinya mati karena kelaparan.di India diperkirakan 1 juta anak-anak setiap tahunnya mati karena kekurangan gizi. Dua bentuk kekurangan gizi yang paling berat pada anak-anak dan sering terjadi bersamaan adalah Marasmus dan Kwasiokor (Lehninger,1994).
Di banyak bagian dunia hanya sedikit protein yang tersedia. Karena kandungan protein bahan pangan nabati pada umumnya rendah dan protein nabati juga rendah mutunya, kekurangan yang serius terhadap protein bermutu “baik” ini selalu terjadi di kawasan dengan pertumbuhan penduduk yang cepat. Kekurangan protein yang kronis pada anak-anak disebut kwasiokor, dalam bahasa Afrika yang artinya “penyakit sapihan”. Anak-anak sempat disusui untuk masa waktu yang relative panjang, tetapi begitu mereka disapih, biasanya untuk memberikan cadangan susu bagi bayi yang berikutnya, mereka mendapatkan protein yang tidak memadai. Pertumbuhan anak-anak yang kekurangan protein terhambat, mereka menjadi kekurangan darah dan jaringan tubuh menjadi berair dan membengkak karena rendahnya tingkat serum protein, yang mengganggu peredaran air secara normal diantara jaringan-jaringan dan darah. Selain itu hati, ginjal prankreas mengalami kerusakan yang hebat. Tingkat kematian pada kwasiokor sangat tinggi. Walaupun anak-anak bisa bertaham terhadap kekurangan protein dalam suatu waktu panjang, terjadi kekurangan fisiologik yang permanen. Lebih penting lagi adalah petunjuk bahwa kekurangan protein pada masa awal anak-anak juga menimbulkan keterbelakangan dalam berfikir dan aspek-aspek kemampuan mental lainnya. Keterbelakangan tersebut terjadi dengan hebat terutama apabila kekurangan protein telah terjadi dalam dua atau tiga generasi secara berturut-turut. Kwasiokor, meskipun pertama kali dinamakan di Afrika, kini hampir menyebar di seluruh dunia akibat kekurangan persediaan protein (Lehninger, 1994).


Bakteriosin



BAB I
PENDAHULUAN

Bakteri adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan tersebar luas dibandingkan dengan organisme lainnya. Organisme ini termasuk ke dalam domain prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik) serta memiliki peran besar dalam kehidupan di bumi.
Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai agen penyebab infeksi dan penyakit, sedangkan kelompok lainnya dapat memberikan manfaat di bidang pangan, pengobatan, dan industri. Ini dikenal sebagai patogenitas bakteri. Beberapa bakteri  patogen menghasilkan toksin, yang berupa endotoksin dan eksotoksin. Dengan makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenai toksin pada bakteri.


BAB II
ISI

A.    Definisi
Toksigenitas atau produksi toksin ialah salah satu penyebab terbesar dari bakteri yang menyebabkan penyakit. Toksin sendiri memiliki pengertian zat racun yang dibentuk dan dikeluarkan oleh organisme yang dapat menyebabkan kerusakan radikal dalam struktur, merusak total hidup atau keefektifan organisme lain pada satu bagian. Toksin yang berasal dari bakteri adalah komponen racun terlarut yang diproduksi oleh bakteri, dan menyebabkan pengaruh negatif terhadap sel-sel inang dengan cara mengubah metabolisme normal dari sel inang tersebut.
B.     Jenis toksin
Toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini bisa dibedakan atas dua jenis yaitu endotoksin dan enterotoksin.
1.      Eksotoksin
     Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa species bakteri tertentu (bisa Gram positif maupun Gram negatif) yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Sebagai contoh, toksin botulin hanya dihasilkan oleh Clostridium botulinum.
     Pada beberapa pathogen, toksin merupakan faktor virulence: toksin hanya diproduksi oleh strain yang virulent. Beberapa patogen bisa mensekresikan eksotoksin ke dalam pangan. Pada kondisi ini, walaupun bakterinya tidak ada, toksin akan menyebabkan keracunan pangan jika masuk ke saluran pencernaan (intoksikasi). Pada beberapa patogen, bakteri hidup masuk ke saluran pencernaan dan memproduksi toksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan (toksiko-infeksi).
     Eksotoksin berukuran lebih besar dari endotoksin, dengan berat molekul sekitar 50 – 1000 kDa. Toksin ini berfungsi seperti enzim dan memiliki sifat-sifat enzim yaitu terdenaturasi oleh panas, asam dan enzim proteolitik. Potensi toksiknya tinggi dan dapat menyebabkan keracunan. Aktivitas biologis dari eksotoksin berlangsung dengan mekanisme reaksi dan substrat yang spesifik. Substrat (didalam inang) bisa berupa komponen dari sel-sel jaringan, organ atau cairan tubuh. Biasanya, bagian yang dirusak oleh toksin mengindikasikan lokasi dari substrat untuk toksin tersebut. Bakteri-bakteri yang dapat menghasilkan eksotoksin, antara lain:
·   Corynebacterium diphteriae
·   Shigella shigae
·   Clostridium tetani
·   Clostridium botulinum
·   Clostridium welebii
·   dan lain-lain,
Pada bakteri-bakteri tersebut, eksotoksin yang dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh, keadaan ini dinamakan taksoemia dan eksotoksin tadi seterusnya mengenai alat-alat tertentu kemudian menunjukkan gejala-gejala penyakit.
Pada penyakit botilismus dan disentri basiler masuknya eksotoksin dari usus. Menurut Erlich, eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a.       Toksin mudah larut dalam air
b.      Toksin termasuk golongan protein, meskipun tidak memberi semua reaksi dari putih telur dengan larutan sulfas magnecicus yang pekat membuat endap.
c.       Toksin bila disuntikkan pada organisme yang peka, maka akan menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu, dengan menunjukkan gejala-gejala tertentu serta mengenai alat-alat tertentu.
d.      Kekuatan toksin untuk menimbulkan sakit dapat hilang jika dipanasi pada 560C, jadi bersifat termolabil. Toksin dapat hilang juga bila disimpan lama di kamar biasa atau dicampur dengan bahan-bahan kimia.
e.       Bila toksin disuntikkan pada organism, maka dalam tubuh organism tersebut akan membuat bahan-bahan penentang.
2.      Endotoksin
Banyak bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun bakterinya sangat virulen. Dalam hal ini dianggap, bahwa bakteri-bakteri itu menimbulkan sakit, karena bahan-bahan yang keluar sesudah bakteri itu mati dan hancur. Yang menghancurkan mereka ialah zat-zat pertahanan tubuh. Bahan-bahan yang beracun itu dinamakan endotoksin.
Contoh:
§  Endotoksin dari Salmonella typid dapat diekstrak dengan asam tri chlorasetat atau dengan dietilen glikol dan ternyata berbentuk polisakarida-lipoid.
§  Endotoksin dari Vibrio cholera yang diekstrak dengan asam trichlorat asetat berbentuk gabungan dari polisakarida-lipoid.
Sifat-sifat umum dari endotoksin:
a.       Tahan panas atau termolabil, juga terhadap suhu yang tinggi, yang lazim dipergunakan dalam otoklaf.
b.      Membikin sakit dengan gejala-gejala yang sama, sehingga tidak spesifik.
c.       Tidak ada periode inkubasi pada keracunan dengan endotoksin.
Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri Gram negatif, baik coccus maupun basil dan tidak mengaktifkan pelepasan dari sel. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar (outer membran) bakteri Gram negatif seperti E. coli, Salmonella, Shigella dan Pseudomonas.
LPS terletak pada membran terluar. Karena membran luar hanya dimiliki oleh bakteri Gram negatif, maka endotoksin dapat dikatakan sebagai toksin yang khas dimiliki oleh bakteri Gram negatif, bakteri Gram positif tidak mempunyai endotoksin.
Efek toksik dari LPS disebabkan oleh komponen lipid (lipid A) dari LPS sementara polisakarida O yang hidrofilik berperan sebagai carrier pembawa lipid A. Komponen lipid A ini bukanlah struktur makromolekuler tunggal melainkan terdiri dari susunan kompleks dari residu-residu lipid.
Endotoksin adalah LPS, sementara eksotoksin adalah polipetida. Enzim-enzim yang menghasilkan LPS tersebut dikodekan oleh gen-gen pada kromosom bakteri daripada plasmid atau DNA bakteriofage yang biasanya mengkodekan eksotoksin. Toksisitas endotoksin lebih rendah dibandingkan dengan eksotoksin, namun beberapa organisme memiliki endotoksin yang lebih efektif dibanding yang lain.
Endotoksin adalah antigen yang lemah dan menginduksi antibodi dengan lemah sehingga tidak cocok digunakan sebagai antigen dalam vaksin. Keberadaan endotoksin tanpa bakteri penghasilnya sudah cukup untuk menimbulkan gejala keracunan pada inang contohnya keracunan makanan karena endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella.
Gejala penyakit karena aktivitas endotoksin (LPS) terjadi jika bakteri mati (misalnya karena aktivitas antimikroba, aktivitas phagosit atau obat antibiotika) dan mengalami lisis sehingga LPS akan dilepas ke lingkungan atau beberapa juga dilepaskan saat penggandaan bakteri. Endotoksin akan memberi efek negatif jika terdapat dalam jumlah yang cukup besar. Karena bersifat non enzimatis, maka mekanisme reaksinya tidak spesifik. LPS menyerang sistim pertahanan tubuh sehingga menyebabkan timbulnya efek biologis dari endotoksin yaitu:
a.       Demam karena pelepasan makrofag oleh interleukin-1 yang beraksi karena pusat pengaturan temperatur hipotalamus. Selain itu, demam juga dapat disebabkan oleh karena endotoksin dapat memicu pelepasan protein pirogen endogen (protein di dalam sel) yang memengaruhi pusat pengatur suhu tubuh di dalam otak.
b.      Hipotensi karena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah.
c.       Aktivasi jalur alternatif dari jalur komplemen sehingga terjadi peradangan dan kerusakan jaringan.
d.      Aktivasi makrofag, peningkatan kemampuan fagosit, dan aktivasi dari banyak klon limfosit B sehingga meningkatkan produksi antibodi.
e.       Peradangan, penurunan kadar besi dan pembekuan darah
Efek langsung maupun tak langsung lain dari endotoksin termasuk stimulasi pembentukan sel granulosit, penggumpalan dan degenerasi dari sel trombosit.
C.    Percobaan menetapkan titer toksin
Kekuatan toksin untuk membikin sakit dan mematikan organisme sangat besar. Lebih besar dari racun alkaloid, ialah dapat 650 kali lebih kuat dari atropine atau 200 kali dari strichiin. Cara mengukur kekuatan toksin dapat dilakukan dengan mencari Dosis Letaralis Minimal (DLM).
Jika misalnya kita membuat toksin dari Corynebacterium diphteriae dengan menumbuhkannya dalam media cair dan kemudian menyaring pertumbuhan tersebut dengan saringan Chamberland, maka DLMnya dari air saringan harus ditetapkan.
Untuk itu dapat dibuat larutan yang disuntikkan secara subkutan pada marmut yang beratnya 250 gram dan ditunggu hasilnya selama 4 hari.


Percobaan menetapkan titer toksin

1 cc larutan berisi
Disuntikkan pada marmot
Sesudah 4 hari
1/100 cc toksin
1/200 cc toksin
1/300 cc toksin
1/400 cctoksin
1/500 cc toksin
1 cc larutan air saja sebagai kontrol
No. 1
No. 2
No. 3
No.4
No. 5
No.6
Mati
Mati
Mati
Mati
Hidup
Hidup

Bila hasilnya pada percobaan di atas, maka DLM nya ialah 1/400 cc toksin, yaitu jumlah toksin yang serendah-rendahnya yang dapat mematikan  marmut seberat 50 gram dalam waktu empat hari. Karena adanya peredan kekuatan antara marmut yang satu dengan marmut yang lain meskipun beratnya sama, maka bila ingin lebih tepat lagi, seharusnya kita membuat percobaan dengan 1/400 cc toksin itu disuntikkan pada marmut-marmut berjumlah cukup banyak dan yang masing-masing beratnya 250 gram. Jika 50% dari beberapa marmut ini mati dalam waktu empat hari, maka dosis itu dinamakan DLM 50.
Seterusnya bila toksin tersebut disimpan lama di kamar biasa atau dipanasi ½ jam pada suhu 560C, maka kekuatan toksin untuk mematikan marmut sudah turun atau hilang sama sekali, bahkan ini dinamakan toxid yaitu toksin yang telah kehilangan kekuatan/rusak akibat petubahan suhu/ suhu meningkat (560C).
Untuk menghilangkan kekuatan toksin, Roman mencampur toksin dengan formalin dan campuran ini dinamakan anatoksin, yaitu toksin yang telah kehilangan kekuatan akibat ditambah zat kimia tertentu. Maka kita dapat membuat anatoksin dari difteri, tetanus, dam lain-lain.
Bila toksoid atau anatoksin disuntikkan beberapa kali pada marmut dengan dosis yang meningkat, maka marmut itu menjadi kebal terhadap suntikan toksin yang kekuatannya belum hilang. Jadi dengan percobaan ini molekul toksin itu mempunyai dua bagian:
a.       Bagian yang satu mempunyai sifat untuk membikin sakit atau mati binatang percobaan, oleh Erlich dinamakan toxophore, yang sifatnya htermolabil dan menjadi hilang bila disimpan lama.
b.      Bagian yang kedua mempunyai khasiat untuk membuat kebal binatang percobaan, bagian ini dinamakan baptophore yang sifatnya termostabil, yaitu tidak hilang dipanasi sampai suhu 560C selama ½ jam.
Tidak lama sesudah Roux membuktikan, bahwa Coryne diphteriae dapat membuat toksin, Von Behring menjalankan penyelidikan seperti berikut:
Marmut yang sudah kebal karena disuntik sedikit demi sedikit toksin, kemudian diambil serumnya. Serum ini dicampur dengan toksin yang kekuatannya lebih dari DLM, kemudian campuran serum dan toksin ini disuntikkan pada marmut biasa. Marmut ini ternyata tidak menjadi sakit. Selanjutnya von Geghring memperlihatkan adanya zat-zat dalam serum dari menawarkan aksi dari kebal toksin. Zat-zat ini dinamakan anti toksin.
Dengan sendirinya timbulah pikiran untuk memakai anti toksin sebagai pengobatan, misalnya orang sakit diphteriae diobati dengan serum anti diphteriae ini dengan jalan disuntikkan.

D.    Bakteriosin
Bakteriosin adalah peptida antimikroba yang disintesis secara ribosomal yang dihasilkan sejumlah bakteri (Martirani dkk.2002) dan mempunyai pengaruh bakterisidal dan bakteriostatik terhadap bakteri yang mempunyai hubungan yang dekat dengan bakteri penghasilnya (Ko dan Ahn 2000).
Bakteriosin dihasilkan baik oleh bakteri grampositif maupun bakteri gramnegatif. Bakteriosin grampositif mengandung 30 sampai 60 asam amino dengan aktifitas yang bervariasi dari spektrum sempit sampai luas dalam melawan bakteri gram-positif lain (Jack dkk. 1995) bahkan ada yang beraksi terhadap bakteri gramnegatif. Penamaan bakteriosin umumnya disesuaikan dengan bakteri penghasilnya seperti Lactococcin A, Lactococcin G, lactococcin 972 dihasilkan oleh bakteri Lactococcus lactis, Enterococcin (Enterococcus faecalis), Carnobactericin (Carnobacterium piscicola), Aurecin (Staphylococcus aureus), Bacillocin (Bacillus licheniformis), Acidolin, Acidophilin, Lactacin (Lactobacillus acidophilus), Lactocin, Helveticin (L. helveticus), Plantaricin, Planticin (L. plantarum) dan lain sebagainya. Bakteriosin pertama kali terdeteksi pada tahun 1925 oleh Andre Gratia yang mengamati pertumbuhan beberapa strain E. coli yang pertumbuhannya dihambat oleh senyawa antimikroba yaitu colicin (Oscárriz dan Pisabarro 2001). Bakteriosin selain berperan dalam menjaga kesehatan ternak dan manusia melalui penyeimbangan ekosistem pencernaan, bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat juga berperan sebagai pengawet alami dalam penyimpanan dan pengolahan bahan pangan (Soomro dkk. 2002)
Penggunaan istilah bakteriosin sering dikacaukan dengan istilah antibiotik dan antimikroba. Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme. Bakteriosin adalah zat kimia berupa peptida atau protein yang dihasilkan oleh bakteri sedangkan antimikroba disamping zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme (antibiotik, bakteriosin) juga substansi yang diperoleh secara sintetik. Bakteriosin secara umum berbeda dengan antibiotik dalam hal sintesis, mekanisme kerja, spektrum dan tujuan pemakaian. Bakteriosin meskipun mempunyai heterogenitas komposisi kimia dan aktifitas biologis biasanya mempunyai beberapa karakteristik umum, seperti menghambat pertumbuhan atau membunuh strain bakteri yang hampir sama; tidak efektif melawan bakteri penghasilnya; mempunyai spektrum sempit dan mempunyai ‘protein moiety’ yang dibutuhkan untuk aktifitas biologi (Schlegel dan Slade 1972). Mekanisme kerja bakteriosin dalam melawan bakteri lain secara umum dengan menyerang membran sitoplasma (Montville dan Chen 1998) melalui pembentukan pori membran sitoplasma (Sablon, Contreras dan Vandamme 2000) dan penembusan membran sel sehingga meningkatkan permeabilitas membran sitoplasma (Jack dkk. 1995) atau penghambatan pembentukan septum (Martinez dkk. 2000).





DAFTAR PUSTAKA


Laboratorium Parasitologi Representatif

BAB I PENDAHULUAN Parasitologi adalah adalah suatu ilmu cabang biologi yang mempelajari tentang semua organisme parasit. Dalam ...