BAB I
PENDAHULUAN
Bakteri
adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan tersebar luas
dibandingkan dengan organisme lainnya. Organisme ini termasuk ke dalam domain
prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik) serta memiliki peran besar
dalam kehidupan di bumi.
Beberapa
kelompok bakteri dikenal sebagai agen penyebab infeksi dan penyakit, sedangkan
kelompok lainnya dapat memberikan manfaat di bidang pangan, pengobatan, dan
industri. Ini dikenal sebagai patogenitas bakteri. Beberapa bakteri patogen menghasilkan toksin, yang berupa
endotoksin dan eksotoksin. Dengan makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut
mengenai toksin pada bakteri.
BAB II
ISI
A.
Definisi
Toksigenitas
atau produksi toksin ialah salah satu penyebab terbesar dari bakteri yang
menyebabkan penyakit. Toksin sendiri memiliki pengertian zat racun yang
dibentuk dan dikeluarkan oleh organisme yang dapat menyebabkan kerusakan
radikal dalam struktur, merusak total hidup atau keefektifan organisme lain
pada satu bagian. Toksin yang berasal dari bakteri adalah komponen racun
terlarut yang diproduksi oleh bakteri, dan menyebabkan pengaruh negatif
terhadap sel-sel inang dengan cara mengubah metabolisme normal dari sel inang
tersebut.
B.
Jenis toksin
Toksin yang
dihasilkan oleh bakteri ini bisa dibedakan atas dua jenis yaitu endotoksin dan
enterotoksin.
1.
Eksotoksin
Eksotoksin merupakan komponen protein
terlarut yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan
eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa species
bakteri tertentu (bisa Gram positif maupun Gram negatif) yang menyebabkan
terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Sebagai contoh, toksin
botulin hanya dihasilkan oleh Clostridium botulinum.
Pada beberapa pathogen, toksin merupakan
faktor virulence: toksin hanya diproduksi oleh strain yang virulent. Beberapa
patogen bisa mensekresikan eksotoksin ke dalam pangan. Pada kondisi ini,
walaupun bakterinya tidak ada, toksin akan menyebabkan keracunan pangan jika
masuk ke saluran pencernaan (intoksikasi). Pada beberapa patogen, bakteri hidup
masuk ke saluran pencernaan dan memproduksi toksin yang dapat menyebabkan
keracunan pangan (toksiko-infeksi).
Eksotoksin berukuran lebih besar dari
endotoksin, dengan berat molekul sekitar 50 – 1000 kDa. Toksin ini berfungsi
seperti enzim dan memiliki sifat-sifat enzim yaitu terdenaturasi oleh panas,
asam dan enzim proteolitik. Potensi toksiknya tinggi dan dapat menyebabkan
keracunan. Aktivitas biologis dari eksotoksin berlangsung dengan mekanisme
reaksi dan substrat yang spesifik. Substrat (didalam inang) bisa berupa
komponen dari sel-sel jaringan, organ atau cairan tubuh. Biasanya, bagian yang
dirusak oleh toksin mengindikasikan lokasi dari substrat untuk toksin tersebut.
Bakteri-bakteri yang dapat menghasilkan
eksotoksin, antara lain:
· Corynebacterium
diphteriae
· Shigella
shigae
· Clostridium
tetani
· Clostridium
botulinum
· Clostridium
welebii
· dan lain-lain,
Pada bakteri-bakteri tersebut,
eksotoksin yang dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh,
keadaan ini dinamakan taksoemia dan eksotoksin tadi seterusnya mengenai
alat-alat tertentu kemudian menunjukkan gejala-gejala penyakit.
Pada penyakit botilismus dan disentri basiler masuknya eksotoksin dari usus. Menurut Erlich, eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a.
Toksin mudah
larut dalam air
b.
Toksin
termasuk golongan protein, meskipun tidak memberi semua reaksi dari putih telur dengan larutan sulfas magnecicus yang pekat
membuat endap.
c.
Toksin bila
disuntikkan pada organisme yang peka,
maka akan menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu, dengan menunjukkan
gejala-gejala tertentu serta mengenai alat-alat tertentu.
d.
Kekuatan
toksin untuk menimbulkan sakit dapat hilang jika dipanasi pada 560C,
jadi bersifat termolabil. Toksin dapat hilang juga bila disimpan lama di kamar
biasa atau dicampur dengan bahan-bahan kimia.
e.
Bila toksin
disuntikkan pada organism, maka dalam tubuh organism tersebut akan membuat
bahan-bahan penentang.
2.
Endotoksin
Banyak bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun
bakterinya sangat virulen. Dalam hal ini dianggap, bahwa bakteri-bakteri itu menimbulkan sakit, karena
bahan-bahan yang keluar sesudah bakteri itu mati dan hancur. Yang menghancurkan
mereka ialah zat-zat pertahanan tubuh. Bahan-bahan yang beracun itu dinamakan
endotoksin.
Contoh:
§ Endotoksin dari Salmonella typid dapat diekstrak dengan asam tri
chlorasetat atau dengan dietilen glikol dan ternyata berbentuk
polisakarida-lipoid.
§ Endotoksin dari Vibrio cholera yang diekstrak dengan asam trichlorat asetat
berbentuk gabungan dari polisakarida-lipoid.
Sifat-sifat
umum dari endotoksin:
a.
Tahan panas
atau termolabil, juga terhadap suhu yang tinggi, yang lazim dipergunakan dalam
otoklaf.
b.
Membikin sakit
dengan gejala-gejala yang sama, sehingga tidak spesifik.
c.
Tidak ada
periode inkubasi pada keracunan dengan endotoksin.
Endotoksin adalah toksin yang
merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri Gram negatif, baik coccus
maupun basil dan tidak mengaktifkan pelepasan dari sel. Aktivitas biologis dari
endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan
komponen penyusun permukaan dari membran terluar (outer membran) bakteri Gram
negatif seperti E. coli, Salmonella, Shigella dan Pseudomonas.
LPS terletak pada membran terluar.
Karena membran luar hanya dimiliki oleh bakteri Gram negatif, maka endotoksin
dapat dikatakan sebagai toksin yang khas dimiliki oleh bakteri Gram negatif, bakteri
Gram positif tidak mempunyai endotoksin.
Efek toksik dari LPS disebabkan oleh
komponen lipid (lipid A) dari LPS sementara polisakarida O yang hidrofilik
berperan sebagai carrier pembawa lipid A. Komponen lipid A ini bukanlah
struktur makromolekuler tunggal melainkan terdiri dari susunan kompleks dari
residu-residu lipid.
Endotoksin adalah LPS, sementara
eksotoksin adalah polipetida. Enzim-enzim yang menghasilkan LPS tersebut
dikodekan oleh gen-gen pada kromosom bakteri daripada plasmid atau DNA
bakteriofage yang biasanya mengkodekan eksotoksin. Toksisitas endotoksin lebih
rendah dibandingkan dengan eksotoksin, namun beberapa organisme memiliki
endotoksin yang lebih efektif dibanding yang lain.
Endotoksin adalah antigen yang lemah
dan menginduksi antibodi dengan lemah sehingga tidak cocok digunakan sebagai
antigen dalam vaksin. Keberadaan endotoksin tanpa bakteri penghasilnya sudah
cukup untuk menimbulkan gejala keracunan pada inang contohnya keracunan makanan
karena endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella.
Gejala penyakit karena aktivitas
endotoksin (LPS) terjadi jika bakteri mati (misalnya karena aktivitas
antimikroba, aktivitas phagosit atau obat antibiotika) dan mengalami lisis
sehingga LPS akan dilepas ke lingkungan atau beberapa juga dilepaskan saat
penggandaan bakteri. Endotoksin akan memberi efek negatif jika terdapat dalam
jumlah yang cukup besar. Karena bersifat non enzimatis, maka mekanisme reaksinya
tidak spesifik. LPS menyerang sistim pertahanan tubuh sehingga menyebabkan
timbulnya efek biologis dari endotoksin yaitu:
a.
Demam karena pelepasan makrofag oleh interleukin-1
yang beraksi karena pusat pengaturan temperatur hipotalamus. Selain itu, demam
juga dapat disebabkan oleh karena endotoksin dapat memicu pelepasan protein
pirogen endogen (protein di dalam sel) yang memengaruhi pusat pengatur suhu
tubuh di dalam otak.
b.
Hipotensi karena meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah.
c.
Aktivasi jalur alternatif dari jalur komplemen
sehingga terjadi peradangan dan kerusakan jaringan.
d.
Aktivasi makrofag, peningkatan kemampuan fagosit, dan
aktivasi dari banyak klon limfosit B sehingga meningkatkan produksi antibodi.
e.
Peradangan, penurunan kadar besi dan pembekuan darah
Efek langsung maupun tak langsung lain dari endotoksin termasuk stimulasi
pembentukan sel granulosit, penggumpalan dan degenerasi dari sel trombosit.
C.
Percobaan menetapkan titer toksin
Kekuatan toksin untuk membikin sakit dan
mematikan organisme sangat
besar. Lebih besar dari racun alkaloid, ialah dapat 650 kali lebih kuat dari
atropine atau 200 kali dari strichiin. Cara mengukur kekuatan toksin dapat
dilakukan dengan mencari Dosis Letaralis Minimal (DLM).
Jika misalnya kita membuat toksin dari Corynebacterium
diphteriae dengan menumbuhkannya dalam media cair dan kemudian menyaring
pertumbuhan tersebut dengan saringan Chamberland, maka DLMnya dari air saringan
harus ditetapkan.
Untuk itu dapat dibuat larutan yang disuntikkan secara subkutan pada marmut
yang beratnya 250 gram dan ditunggu hasilnya selama 4 hari.
Percobaan menetapkan titer toksin
1 cc
larutan berisi
|
Disuntikkan
pada marmot
|
Sesudah 4
hari
|
1/100 cc
toksin
1/200 cc
toksin
1/300 cc
toksin
1/400
cctoksin
1/500 cc
toksin
1 cc
larutan air saja sebagai kontrol
|
No. 1
No. 2
No. 3
No.4
No. 5
No.6
|
Mati
Mati
Mati
Mati
Hidup
Hidup
|
Bila hasilnya pada percobaan di atas, maka DLM nya ialah 1/400 cc toksin,
yaitu jumlah toksin yang serendah-rendahnya yang dapat mematikan marmut seberat 50 gram dalam waktu empat
hari. Karena adanya peredan kekuatan antara marmut yang satu dengan marmut yang
lain meskipun beratnya sama, maka bila ingin lebih tepat lagi, seharusnya kita
membuat percobaan dengan 1/400 cc toksin itu disuntikkan pada marmut-marmut
berjumlah cukup banyak dan yang masing-masing beratnya 250 gram. Jika 50% dari
beberapa marmut ini mati dalam waktu empat hari, maka dosis itu dinamakan DLM
50.
Seterusnya bila toksin tersebut disimpan lama di
kamar biasa atau dipanasi ½ jam pada suhu 560C, maka kekuatan toksin
untuk mematikan marmut sudah turun atau hilang sama sekali, bahkan ini
dinamakan toxid yaitu toksin yang telah kehilangan kekuatan/rusak akibat
petubahan suhu/ suhu meningkat (560C).
Untuk menghilangkan kekuatan toksin, Roman mencampur
toksin dengan formalin dan campuran ini dinamakan anatoksin, yaitu toksin yang
telah kehilangan kekuatan akibat ditambah zat kimia tertentu. Maka kita dapat
membuat anatoksin dari difteri, tetanus, dam lain-lain.
Bila toksoid atau anatoksin disuntikkan beberapa
kali pada marmut dengan dosis yang meningkat, maka marmut itu menjadi kebal
terhadap suntikan toksin yang kekuatannya belum hilang. Jadi dengan percobaan
ini molekul toksin itu mempunyai dua bagian:
a.
Bagian yang
satu mempunyai sifat untuk membikin sakit atau mati binatang percobaan, oleh
Erlich dinamakan toxophore, yang sifatnya htermolabil dan menjadi hilang bila
disimpan lama.
b.
Bagian yang
kedua mempunyai khasiat untuk membuat kebal binatang percobaan, bagian ini
dinamakan baptophore yang sifatnya termostabil, yaitu tidak hilang dipanasi
sampai suhu 560C selama ½ jam.
Tidak lama sesudah Roux
membuktikan, bahwa Coryne diphteriae dapat membuat toksin, Von Behring
menjalankan penyelidikan seperti
berikut:
Marmut yang sudah kebal karena
disuntik sedikit demi sedikit toksin, kemudian diambil serumnya. Serum ini
dicampur dengan toksin yang kekuatannya lebih dari DLM, kemudian campuran serum
dan toksin ini disuntikkan pada marmut biasa. Marmut ini ternyata tidak menjadi
sakit. Selanjutnya von Geghring memperlihatkan adanya zat-zat dalam serum dari
menawarkan aksi dari kebal toksin. Zat-zat ini dinamakan anti toksin.
Dengan sendirinya timbulah
pikiran untuk memakai anti toksin sebagai pengobatan, misalnya orang sakit
diphteriae diobati dengan serum anti diphteriae ini dengan jalan disuntikkan.
D.
Bakteriosin
Bakteriosin
adalah peptida antimikroba yang disintesis secara ribosomal yang dihasilkan
sejumlah bakteri (Martirani dkk.2002) dan mempunyai pengaruh bakterisidal dan
bakteriostatik terhadap bakteri yang mempunyai hubungan yang dekat dengan
bakteri penghasilnya (Ko dan Ahn 2000).
Bakteriosin
dihasilkan baik oleh bakteri gram‐positif
maupun bakteri gram‐negatif.
Bakteriosin gram‐positif
mengandung 30 sampai 60 asam amino dengan aktifitas yang bervariasi dari spektrum
sempit sampai luas dalam melawan bakteri gram-positif lain (Jack dkk. 1995)
bahkan ada yang beraksi terhadap bakteri gram‐negatif. Penamaan bakteriosin umumnya disesuaikan
dengan bakteri penghasilnya seperti Lactococcin A, Lactococcin G, lactococcin
972 dihasilkan oleh bakteri Lactococcus lactis, Enterococcin (Enterococcus
faecalis), Carnobactericin (Carnobacterium piscicola), Aurecin (Staphylococcus
aureus), Bacillocin (Bacillus licheniformis), Acidolin, Acidophilin,
Lactacin (Lactobacillus acidophilus), Lactocin, Helveticin (L.
helveticus), Plantaricin, Planticin (L. plantarum) dan lain
sebagainya. Bakteriosin pertama kali terdeteksi pada tahun 1925 oleh Andre
Gratia yang mengamati pertumbuhan beberapa strain E. coli yang
pertumbuhannya dihambat oleh senyawa antimikroba yaitu colicin (Oscárriz dan
Pisabarro 2001). Bakteriosin selain berperan dalam menjaga kesehatan ternak dan
manusia melalui penyeimbangan ekosistem pencernaan, bakteriosin yang dihasilkan
bakteri asam laktat juga berperan sebagai pengawet alami dalam penyimpanan dan
pengolahan bahan pangan (Soomro dkk. 2002)
Penggunaan
istilah bakteriosin sering dikacaukan dengan istilah antibiotik dan
antimikroba. Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai
mikroorganisme. Bakteriosin adalah zat kimia berupa peptida atau protein yang
dihasilkan oleh bakteri sedangkan antimikroba disamping zat kimia yang dihasilkan
oleh berbagai mikroorganisme (antibiotik, bakteriosin) juga substansi yang
diperoleh secara sintetik. Bakteriosin secara umum berbeda dengan antibiotik
dalam hal sintesis, mekanisme kerja, spektrum dan tujuan pemakaian. Bakteriosin
meskipun mempunyai heterogenitas komposisi kimia dan aktifitas biologis biasanya
mempunyai beberapa karakteristik umum, seperti menghambat pertumbuhan atau membunuh
strain bakteri yang hampir sama; tidak efektif melawan bakteri penghasilnya;
mempunyai spektrum sempit dan mempunyai ‘protein moiety’ yang dibutuhkan untuk aktifitas
biologi (Schlegel dan Slade 1972). Mekanisme kerja bakteriosin dalam melawan
bakteri lain secara umum dengan menyerang membran sitoplasma (Montville dan
Chen 1998) melalui pembentukan pori membran sitoplasma (Sablon, Contreras dan
Vandamme 2000) dan penembusan membran sel sehingga meningkatkan permeabilitas
membran sitoplasma (Jack dkk. 1995) atau penghambatan pembentukan septum
(Martinez dkk. 2000).
DAFTAR PUSTAKA